MANAJEMEN
BERBASIS SEKOLAH (MBS)
Oleh
Zahraini dan Imran
ABSTRAK
Pemerintah
Indonesia
telah melakukan otonomi daerah seiring dengan perkembangan globalisasi. Dalam
mewujudkan otonomi daerah tersebut pemerintah juga mengeluarkan kebijakan
desentralisasi pemerintahan. Adanya otonomi daerah ini diharapkan masyarakat
akan mendapatkan Iayanan publik yang lebih baik, lebih cepat, dan lebih
bertanggung jawab dalam urusan pemerintahan. Termasuk salah satu bidang
pemerintahan yang didesentralisasikan adalah bidang pendidikan.
Pelaksanaan
otonomi daerah khususnya bidang pendidikan di Indonesia mengalami sejumlah
masalah, baik masalah yang bersifat konseptual maupun faktual. Apabila
permasalahan ini tidak segera ditangani maka dikhawatirkan bahwa desentralisasi
manajemen atau pengelolaan pendidikan akan membawa dampak negatif yang lebih
kompleks seperti masalah disintegrasi bangsa. Oleh karena itulah Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003 memberikan dukungan yang
tegas dan jelas dalam penyelenggaraan otonorni daerah bidang pendidikan dengan
tetap berpegang pada satu sistem pendidikan nasional dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Key Word: MBS, Otonomi pendidikan ,
desentralisasi pendidikan.
A.
PENDAHULUAN
Desentralisasi
merupakan penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah kepada daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Sistem desentralisasi
merupakan kebalikan dari sentralisasi, dimana sebagian wewenang
pemerintah pusat dilimpahkan kepada daerah untuk dilaksanakan.
Dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah ditegaskan bahwa
berubahnya sistem
pendidikan nasional yang bersifat sentralistis ke sistem desentralisasi disebabkan karena sistem pendidikan yang sentralisasi selama ini dilaksanakan kurang bisa
mengakomodasi keberagaman daerah,
keberagaman sekolah, serta keberagaman peserta didik, bahkan cenderung mematikan
partisipasi masyarakat dalam
pengembangan pendidikan.
Desentralisasi sebagai suatu kebijakan politik sangat berpengaruh dalam proses
pembangunan pendidikan.
Meskipun desentralisasi pendidikan merupakan sebuah keharusan, namun dalam
realitasnya, pelaksanaan desentralisasi pendidikan terkesan satu tindakan yang
agak tergesa-gesa dan tidak siap. Hal ini bisa dilihat dari belum memadainya
sumber daya manusia ( SDM ) daerah, sarana dan prasarana yang kurang memadai,
manajemen pendidikan yang belum optimal, disamping juga sekian banyak
permasalahan yang masih dihadapi dunia pendidikan di daerah.
Diantara persoalan yang dihadapi pendidikan di daerah
sekarang adalah menyangkut mutu lulusan yang masih rendah, kondisi fisik
sekolah yang memperhatinkan, kurangnya guru dan kualifikasinya yang tidak
sesuai, ketidakmerataan penyelenggaraan pendidikan, merupakan pekerjaan rumah
yang cukup berat bagi pemerintah daerah dalam keragaman pelaksanaan otonomi
daerah. Pemahaman dan komitmen yang kuat dari pemerintah daerah tentang
pendidikan sangat diperlukan dalam upaya menjawab berbagai permasalahan tersebut.
B.
PEMBAHASAN
- Pengertian Otonomi
Pendidikan.
Kata otonomi
berasal dari bahasa Yunani yaitu autos yang berarti sendiri dan nomos yang berarti hukum atau aturan.
Secara etimologi otonomi diartikan sebagai perundangan sendiri. Menurut Ateng Syafrudin
otonomi diartikan sebagai kebebasan dan kemandirian tapi bukan kemerdekaan.
Syarif Saleh
mengartikan otonomi sebagai hak mengatur dan memerintah daerah sendiri, hak yang
diperoleh dari pemerintah pusat.
Sedangkan ada juga yang memberikan pengertian bahwa otonomi pendidikan adalah
adanya pemberian wewenang dari pemilik wewenang (atasan) kepada pelaksana
(penguasa dibawahnya). Dalam
konteks Indonesia
otonomi atau desentralisasi diartikan sebagai penyerahan wewenang disertai
tanggung jawab pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka Negara kesatuan
RI.
Dari beberapa definisi tentang otonomi pendidikan di
atas dapat ditarik kesimpulan bahwa desentralisasi dan otonomi pendidikan tidak hanya sekedar
membagi proses pengambilan keputusan atau menyerahkan kekuasaan dari pusat ke
daerah tetapi desentralisasi dan otonomi pendidikan mempunyai makna yang sangat
besar sebagai perwujudan penghargaan atas hak dan kewajiban rakyat untuk
memutuskan sendiri pendidikan untuk anak-anaknya. Desentralisasi dan otonomi
pendidikan intinya ialah memberikan
kesempatan kepada rakyat untuk mengambil keputusan di lapangan mengenai bentuk,
proses, keberadaan lembaga pendidikan yang sesuai dengan tuntutan
kehidupannya.Dengan kata lain desentralisasi dan otonomi pendidikan bertujuan
memberdayakan rakyat.
2.
Dasar Hukum
Otonomi Pendidikan
Salah satu tugas negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana
termaktub dalam UUD 1945 alenia ke empat yang berbunyi bahwa pendidikan
merupakan hak semua warna negara. Oleh karena itu pemerintah sebagai pemegang
kekuasaan dari rakyat berkewajiban memberikan layanan kebutuhan pendidikan. Dengan mengeluarkan Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah secara resmi mengakhiri sistem pemerintahan sentralistik
yang memberikan kekuasaan teramat besar kepada pemimpin negara. Sebagai Tindak
lanjut dari UU tersebut dikeluarkan Peraturan pemerintah no. 25 tahun 2000 tentang
pembagian kewenangan provinsi sebagai daerah otonom. Dengan dikeluarkannya peraturan
pemerintah ini mendorong terjadinya reformasi pada setiap
departemen dalam menjalankan kewenangan yang diberikan kepadanya selama ini. Dijelaskan dalam Bab IV pasal 7 ayat 1 bahwa
kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan,
kecuali dalam bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan
moneter dan fiskal agama serta kewenangan dalam bidang lain.
Terkait dengan masalah pendidikan pemerintah
merumuskan dan menetapkan dan mengimplementasikan kebijakan berupa UU no. 20
tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional sebagai dasar hukum bagi para
pejabat pemerintahan yang diberi tugas dalam melaksanakan pendidikan di
Indonesia. UU ini merupakan pembaharuan
dari UU sebelumnya dan menjadi respon terhadap perkembangan kehidupan
masyarakat dalam konteks era globalisasi dimana tehnologi dan
informasi berjalan begitu cepat dan kemudian UU itu dijadikan sebagai dasar
reformasi di bidang pendidikan untuk mencapai standar mutu internasional.
Dengan diberlakukannya UU no 32tahun 2003 ini, maka sistem pendidikan yang
tadinya bersifat sentralistik berubah menjadi desentralistik dalam artian bahwa
daerah harus mengurus kepentingannya dalam bidang pendidikan. Adanya
desentralisasi pendidikan ini menuntut para penyelenggara pendidikan terutama
sekolah untuk memberdayakan SDM yang ada di lingkungan sekolah.ditambah
dukungan masyarakat yang terhimpun dalam komite sekolah.
Kelanjutan dari Peraturan Pemerintah tersebut
dikeluarkan Undang-
-Undang No. 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah, yang kemudian direvisi dengan
UU No. 12 tahun 2008 yang juga mengatur Pemerintahan Daerah. Beberapa
Undang-Undang di atas merupakan landasan diberikannya kewenangan pengelolaan
pendidikan kepada pemerintah daerah. Kewenangan itu diberikan dengan pertimbangan
antara lain bahwa pemerintah daerah lebih mengetahui kebutuhan pendidikan
didaerah masing-masing, sehingga diharapkan dapat membuat program dan kebijakan
yang secara langsung menyentuh kebutuhan pendidikan di daerah.
3.
Konsep Otonomi Pendidikan
Menurut
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor. 20 Tahun 2003, mengenai otonomi
pendidikan terlihat pada Bab Hak dan Kewajiban Warga Negara, Orang tua,
Masyarakat dan Pemerintah. Pada Pasal 8 bagian ketiga Hak dan
Kewajiban Masyarakat disebutkan bahwa “Masyarakat berhak berperan serta dalam
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan; dan pada
pasal 9 disebutkan bahwa masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber
daya dalam penyelenggaraan pendidikan”. Begitu juga pada bagian keempat Hak dan
Kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah, pasal 11 ayat (2) “Pemerintah dan
Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya
pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai lima belas tahun”.
Berdasarkan
UU sisdiknas di atas, maka konsep otonomi pendidikan mengandung pengertian yang
luas, dimana konsep otonomi pendidikan mencakup filosofi, tujuan, format dan
isi pendidikan serta manajemen pendidikan itu sendiri. Hal ini tentu akan berimplikasi
bahwa setiap daerah otonomi harus memiliki visi dan misi pendidikan yang jelas
dan jauh ke depan dengan melakukan pengkajian yang mendalam dan meluas tentang
perkembangan penduduk dan masyarakat untuk memperoleh konstruk masyarakat di
masa depan dan tindak lanjutnya, merancang sistem pendidikan yang sesuai dengan
karakteristik budaya bangsa Indonesia di masa mendatang.
Dalam
otonomi/desentralisasi pendidikan terjadi pelimpahan wewenang dan
tanggung jawab kepada daerah hal ini membawa konsekwensi terhadap pembiayaan
guna mendukung proses desentralisasi sebagaimana termuat dalam pasal 12 ayat 1 UU
no. 32 tahun 2004 disebutkan bahwa urusan pemerintahan yang diserahkan kepada
daerah disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana serta
kepegawaian sesuai dengan urusan yang di desentralisasikan. Sejalan dengan
adanya otonomi atau desentralisasi pendidikan yang ditempuh oleh pemerintah ini maka
tanggung jawab pemerintah daerah semakin meningkat dan luas, termasuk dalam manajemen
pendidikan. Pemerintah daerah diharapkan untuk senantiasa keningkatkan
kemampuannya dalam berbagai tahap pembangunan pendidikan, sejak tahap perumusan
kebijakan daerah, perencanaan, pelaksanaan, sampai pemantauan atau monitoring
di daerah masing maing sejalan dengan kebijakan pendidikan nasional yang
digariskan pemerintah.
Terkait dengan desentralisasi diatas, menurut Supriadi
dalam Hasbullah mengelompokkan sistem desentralisasi pengelolaan pendidikan
menjadi 4 macam.
- Suatu
Negara menganut sistem pengelolaan pendidikan sentralistik tanpa disertai
dengan manajemen berbasis sekolah.
b.
Suatu
Negara menganut sistem pengelolaan pendidikan desentralistik (ke tingkat
provinsi atau kabupaten kota)
tetapi tidak diikuti dengan manajemen berbasis sekolah.
c.
Suatu
Negara menganut sistem pengelolaan pendidikan sentralistik tetapi pada saat
yang sama mengembangkan manajemen berbasis sekolah
d.
Suatu
Negara menganut sistem pengelolaan pendidikan desentralistik dan sekaligus melaksanakan manajenen berbasis
sekolah.
Dari beberapa macam sistem desentralisasi pengelolaan
pendidikan yang dikemukakan di atas, Indonesia mengimplementasikan tipe
yang ke-4 yaitu desentralistik sistem
pengelolaan pendidikan disertai dengan manajemen berbasis sekolah. Namun
demikian beberapa hal menyangkut pembiayaan pendidikan dan kurikulum masih
cenderung tergantung pada keputusan-keputusan pemerintah pusat. Hal ini dapat
kita pada pemerintah pusat masih
mempertahankan bentuk-bentuk kewenangan di dunia pendidikan, hal ini dilihat
dari PP no. 25 tahun 2000 tentang
kewenangan pemerintah dan kewenangan provinsi sebagai daerah otonomi khususnya
pada pasal 2 butir 11 bidang pendidikan
tercantum 10 butir kewenangan yang masih dipegang oleh pemerintah pusat. Diantaranya
antara lain berhubungan dengan standar kompetensi siswa serta pengaturan kurikulum
nasional serta penilaian secara nasional, standar materi pelajaran pokok, gelar
akademik, biaya pebnyelenggaraan pendidikan, penerimaan, perpindahan,
sertifikasi siswa/mahasiswa, benda cagar budaya, kalender akademik, pemamfaatan
hasil penelitian, pengaturan danpengembangan pendidikan jarak jauh,serta
sekolah internasional, dan pembinaan
pengembangan bahasa dan sastra Indonesia.
Sementara itu, kewenangan pemerintah provinsi
meliputi hal-hal sebagai berikut: penetapan kebijakan tentang penerimaan siswa dan
mahasiswa dari masyarakat minoritas, terbelakang, atau kurang mampu, penyediaan
bantuan pengadaan buku pelajaran pokok/ modul pendidikan untuk taman
kanak-kanak, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan luar sekolah,
mendukung/membantu penyelenggaraan pendidikan tinggi selain pengaturan
kurikulum, akreditasi, dan pengangkatan tenaga akademis, pertimbangan pembukaan
dan penutupan perguruan tinggi, penyelenggaraan sekolah luar biasa dan balai
pelatihan dan/ atau penataran guru,
penyelenggaraan museum provinsi, suaka peninggalan sejarah, kepurbakalaan,
kajian sejarah dan nilai tradisional, serta pengembangan bahasa dan budaya
daerah.
Diberlakukannya
desentralisasi pendidikan mendapat
respon positif di berbagai wilayah dan
sebagian lagi merespon negatif. Adapun yang merespon positif disebabkan:
a. Desentralisasi pendidikan sudah merupakan kebijakan yang populis. Desentralisasi
pendidikan didukung oleh berbagai lapisan masyarakat, khususnya masyarakat
pendidikan di daerah.
b. Mendapat dukungan yang kuat dari
berbagai pihak khususnya dari wakil rakyat yang duduk di DPR-RI. Hal ini
dibuktikan dengan disyahkannya berbagai undang-undang yang mengatur tentang
otonomi daerah.
c. Desentralisasi pendidikan merupakan hal yang ditunggu-tunggu menyusul adanya
perubahan sosial politik.
Kebijakan pemerintah tentang desentralisasi
pendidikan sangat dinanti para politisi
dan praktisi pendidikan menyusul adanya perubahan sosial politik yang diawali
dengan tumbangnya rezim orde baru pada tahun 1998 yang menuntut adanya
reformasi di segala bidang termasuk reformasi pendidikan. Hal ini sejalan
dengan cita-cita perjuangan untuk menerapkan azaz keadilan dan pemerataan dalam
pembangunan. Oleh karena itu, dukungan dan kontrol dari masyarakat dapat terus
berjalan selama kebijakan ini digunakan
d. Kesiapan anggaran yang cukup dengan diterapkannya
anggaran pendidikan sebanyak 20 % dari APBN tahun 2003
Kesiapan
anggaran yang cukup dengan diterapkannya anggaran pendidikan minimal sebesar 20
persen dari APBN tahun 2009 sesuai dengan amanat Undang-Undang dan kemungkinan
dapat bertambah seiring meningkatnya pertumbuhan ekonomi Negara.
e. Efisiensi perjalanan anggaran
sebagai wujud pemangkasan birokrasi.
Adapun yang merespon negatif karena disebabkan daerah belum siap. Ketidak
siapan daerah menerima otonomi atau desentralisasi pendidikan ini disebabkan karena:
a. Sumber
daya manusia belum memadai.
Dalam hal ini terkait dengan kuantiatas atau
kualitas SDM. Beberapa daerah SDMnya
belum dapat dengan baik memahami, menganalisis serta mengaplikasikan
konsep desentralisasi pendidikan ini. Demikian juga kualitas dan kuantitas SDM masih terbatas,
kalaupun ada yang menyelesaikan magisternya, jumlahnya tidak mencukupi atau
tidak memadai.
b. Sarana
dan prasarana belum tersedia secara cukup dan memadai.
Hal ini berhubungan dengan ketersediaan dana yang
ada di setiap daerah. Selama ini mungkin daerah-daerah tertentu masih asyik dan
terlena dengan sistem dropping yang diterapkan oleh pemerintah pusat. Mereka
terkejut ketika tiba-tiba memperoleh kewenangan untuk mengelola secara mandiri
sebagian besar urusan pendidikan di daerahnya. Untuk itu daerah belum siap
dengan sarana dan prasarana yang diperlukan.
c. Anggaran
Pendapatan asli daerah mereka sangat rendah.
Beberapa daerah tertinggal merasa berat untuk
menerima kewenangan desentralisasi pendidikan ini hal ini dikarenakan
pembiayaan pembangunan yang mereka lakukan selama ini banyak ditunjang oleh pusat atau provinsi. Pendapat
Asli Daerah (PAD) mereka tergolong masih sangat rendah.
d. Secara
psikologis mental mereka belum siap menghadapi sebuah perubahan.
Perubahan merupakan suatu keniscayaan .namun tidak
semua orang memiliki pandangan dan sikap
yang sama terhadap perubahan.sebagian orang menganggap perubahan itu sebagai
suatu yang menghawatirknan .hal ini tidak menutup kemungkinan terjadi juga pada aparat ataumasyarakat
daerah tertentu.ketakuatan akan masa depan yang diakibatkan oleh pperunbahan
yang terjadi, membuat mereka tidak siap secara mental menghadapi perubahan
tersebut.
e. Mereka
gamang atau takut terhadap upaya pembaruan.
Pembaharuan dalam bidang pendidikan saat ini kita
kenal dengan sebutan pembaruan kurikulum. Setiap kali terjadipembaruan
kurikulum, para guru kembali disibukkandengan berbagi kegiatan, eperti
penataran, uji coba model, sosialisasi kurikulum, dan sebagainya.semua itu
dianggap oleh sebagain guru sebagai
malapetaka atau menjadi beban berat bagi mereka.
4. Pelaksanaan Otonomi Pendidikan di Indonesia.
Pelaksanaan
otonomi pendidikan yang telah berlangsung selama ini sering kali mengalami banyak hambatan dan
permasalahan yang berpotensi mengganggu
efektivitas, efisiensi, dan profesionalisme pengelolaan pendidikan. Pada era
reformasi dan globalisasi ini, pendidikan nasional mengalami banyak tantangan,
salah satunya adalah masalah peningkatan mutu
pendidikan. Semua lembaga pendidikan dituntut untuk memberikan
pelayanan yang baik di dalam proses pendidikan, baik layanan di dalam kelas maupun
di luar kelas.
Dengan
pemberlakuan otonomi pendidikan diyakini kualitas pendidikan akan semakin maju,
dan adanya konsepsi desentralisasi pendidikan yang dikemas dalam
program school based management (MBS), yakni suatu sistem
manajemen yang bertumpu pada situasi dan kondisi serta kebutuhan sekolah
setempat. Sekolah diharapkan mengenali
seluruh infrastruktur yang berada di sekolah, seperti guru, siswa, sarana
prasarana, finansial, kurikulum, dan sistem informasi. Unsur-unsur manejemen
tersebut harus difungsikan secara optimal dalam arti perlu direncanakan,
diorganisasi, digerakkan, dikendalikan dan dikontrol.
Pelaksanaan
otonomi pendidikan di Indonesia
merupakan tugas yang berat, yang harus dilaksanakan. Pemberian otonomi
pendidikan tidak cukup hanya diberikan pada tingkat propinsi, kabupaten/ kota, namun idealnya
harus sampai pada tingkat sekolah/ unit kerja. Kepala sekolah, guru, tenaga
administrasi dan tenaga pelaksana diberi tanggungjawab besar dalam melaksanakan
otonomi pendidikan tersebut.
Menurut Tilaar
desentralisasi pendidikan merupakan suatu keharusan. Menurutnya ada tiga
hal yang berkaitan dengan urgensi desentralisasi pendidikan. Ketiga hal
tersebut antara lain: pembangunan masyarakat demokrasi, pengembangan social
capital, dan peningkatan daya saing bangsa.
a. Masyarakat
Demokrasi.
Masyarakat
demokrasi (civil society) adalah suatu masyarakat yang antara lain
mengakui akan hak-hak asasi manusia. Civil society adalah masyarakat
yang terbuka di mana setiap anggotanya merupakan pribadi yang bebas dan
mempunyai tanggung jawab untuk membangun masyarakatnya sendiri. Pemerintahan di
dalam civil society adalah pemerintahan yang dipilih oleh rakyat dan
untuk kepentingan rakyatnya sendiri. Masyarakat demokrasi memerlukan suatu
pemerintah yang baik (good government) dan pemerintahan yang bersih (clean
governance).
Masyarakat
terbuka mengakui akan perbedaan-perbedaan yang ada di dalam masyarakatnya.
Perbedaan-perbedaan itu justru merupakan kekuatan dalam civil society.
Perbedaan pendapat diakui dan oleh sebab itu diperlukan suatu sikap toleransi
yang tinggi. Tanpa toleransi tidak mungkin terwujud suatu masyarakat
demokratis. Dengan dalih untuk stabilisasi dan keamanan, hak-hak manusia kadang
dikorbankan.
Masyarakat
demokratis sangat menjunjung tinggi perbedaan pendapat dan tunduk terhadap
keputusan bersama yang telah diambil oleh semua anggota. Dalam masyarakat ini
dituntut adanya tanggung jawab individu dan tanggung jawab sosial dari
masing-masing anggotanya dalam melaksanakan keputusan bersama tersebut.
Sikap
serta nilai yang telah diuraikan di atas yang merupakan ciri khas dari
masyarakat demokrasi tidak datang dengan sendirinya tetapi merupakan suatu
proses. Proses tersebut adalah proses pendidikan. Civil society tidak
lahir dengan sendirinya karena memerlukan suatu sistem nilai yang berbeda
dengan masyarakat otoriter. Oleh karena itu transisi dari masyarakat Orde Baru
yang serba otoriter dan sentralistis menuju pada masyarakat demokratis yang
mengakui akan hak-hak asasi manusia dan menghargai adanya perbedaan antar
anggotanya memerlukan suatu proses yang bernama pendidikan.
Pendidikan
dasar yang merupakan hak dari semua warga negara merupakan pondasi dari suatu
masyarakat demokratis. Oleh sebab itu, pendidikan dasar yang bebas (free
basic education) harus dijadikan prioritas utama dalam membangun masyarakat
Indonesia
baru, yaitu masyarakat yang demokratis.
Perubahan
dari pemerintahan yang sentralistis ke pemerintahan yang memberikan otonomi
luas kepada daerah menuntut suatu persiapan. Lembaga-lembaga sosial yang ada
harus dirombak dengan menggunakan paradigma baru. Perubahan paradigma kehidupan
bermasyarakat tersebut memang tidak mudah dicapai. Selama bertahun-tahun
paradigma lama yang berdasarkan kekuasaan telah mengakar dan membudaya. Karenanya,
perubahan kearah masyarakat yang demokratis memerlukan pemimpin-pemimpin baru.
Pemimpin-pemimpin
masa Orde Baru tentu sulit untuk serta merta mengubah dirinya dengan
menggunakan paradigma baru. Pembangunan masyarakat demokrasi meminta suatu generasi
pemimpin yang baru, yaitu seorang pemimpin demokratis, yang terbuka, dan bebas
dari virus KKN. Sebab itu, masa transisi sekarang ini meminta
sekurang-kurangnya satu generasi di dalam pembinaannya. Akan muncul
pemimpin-pemimpin masyarakat yang menghayati nilai-nilai demokrasi, dan sosok
pemimpin yang demikian hanya dihasilkan melalui sistem pendidikan dan
penyelenggaraan pendidikan yang
sesuai.
b.
Pengembangan
“Social Capital”
Para ahli
ekonomi seperti Amartya Sen, penenang hadian Nobel Ekonomi tahun 1998,
menekankan kepada nilai-nilai demokrasi sebagai bentuk social capital yang
menjadi pemicu pertumbuhan ekonomi dan kehidupan yang lebih manusiawi.
Demokrasi sebagai social capital hanya dapat dikembangkan melalui proses
pendidikan yang menghormati nilai-nilai demokrasi tersebut. Suatu proses
belajar yang tidak menghargai akan kebebasan berpikir kritis tidak mungkin
menghidupkan nilai-nilai demokrasi sebagai social capital suatu bangsa.
Sistem
pendidikan yang sentralistis yang mematikan kemampuan berinovasi tentunya tidak
sesuai dengan penembangan suatu masyarakat demokrasi yang terbuka. Oleh sebab
itu, desentralisasi pendidikan berarti lebih mendekatkan proses pendidikan
kepada rakyat sebagai empunya pendidikan itu sendiri. Rakyat harus berpartisipasi
di dalam pembentukan social capital tersebut. Ikut sertanya rakyat di
dalam penyelenggaraan pendidikan dalam suatu masyarakat demokratis berarti pula
rakyat ikut membnina lahirnya social capital dari suatu bangsa.
Selanjutnya
para ahli seperti Fukuyama
mengatakan bahwa social capital yang tidak kalah pentingnya dalam
masyarakat demokratis adalah adanya rasa saling mempercayai (trust). Fukuyama memberi solusi
kepada tesis Huntington
yang mengatakan akan terjadi benturan-benturan kebudayaan manusia. Di dalam
masyarakat dunia yang demokratis perlu ditumbuhkan sikap saling percaya,
menghargai adanya perbedaan dan keyakinan akan adanya kesamaan-kesamaan
terhadap nilai-nilai universal.
Peran
pendidikan di dalam menumbuhkan keyakinan terhadap perlu adanya nilai-nilai
universal seperti nilai-nilai persatuan bangsa adalah sangat besar. Di
negara-negara maju seperti Masyarakat Bersama Eropa (European Union)
sangat memperhatikan peranan pendidikan di dalam persatuan Eropa. Persatuan
Eropa, menurut negarawannya, hanya dapat diwujudkan melalui proses pendidikan.
Pendidikan dianggap sebagai sarana kohesi sosial (social
cohesiveness).
c. Pengembangan
Daya Saing Bagsa.
Di dalam
suatau masyarakat demokratis setiap anggotanya dituntut partisipasi optimal
dalam mengembangkan kehidupan pribadi dan masyarakatnya. Di dalam kehidupan
bersama tersebut diperlukan kemampuan daya saing tinggi di dalam kerja sama. Di
dalam suatu masyarakat otoriter dan statis, daya saing tidak mempunyai tempat.
Oleh karena itu, perkembangan masyarakat sangat lamban. Masyarakat bergerak
dengan komando dan oleh sebab itu sikap masa bodoh dan menunggu merupakan ciri
dari suatu masyarakat otoriter.
Daya saing
di dalam suatu masyarakat bukanlah kemampuan untuk saling membunuh dan saling
menyingkirkan satu dengan yang lain, tetapi dalam rangka kerja sama yang
semakin lama semakin meningkat mutunya. Dunia terbuka, dunia yang telah menjadi
kampung global (global village) menuntut kemampuan daya saing dari
setiap individu, setiap masyarakat, bahkan setiap bangsa. Eksistensi suatu
masyarakat dan bangsa hanya dapat terjamin apabila dia terus-menerus
memperbaiki diri dan meningkatkan kemampuannya. Diantara faktor-faktor yang
sangat menentukan daya saing tersebut adalah intelegensi, informasi, ide baru
dan inovasi.
Meskipun desentralisasi pendidikan merupakan sebuah
keharusan, namun dalam realitas, pelaksanaanya terkesan suatu tindakan agak
tergesa-gesa dan tidak siap. Hal ini bisa dilihat dari pelaksanaan program desentralisasi ini di berbagai
daerah. Bahwa Pelaksanaan
desentralisasi pendidikan atau disebut otonomi pendidikan masih belum
sepenuhnya berjalan sesuai dengan yang diharapkan, hal dapat dilihat bahwa pelaksanaan desentralisasi
pendidikan di Indonesia belum mampu membawa peningkatan bagi pengembangan
pendidikan di daerah. Dengan kata lain, keadaan pengembangan pendidikan di
daerah belum menunjukkan perbedaan yang berararti, atau sama saja antara
sebelum dan sesudah dilaksanakan desentralisasi pendidikan. Bahkan
desentralisasi pendidikan dalam hal tertentu justru malah menimbulkan kesulitan
baru dibandingkan dengan keadaan sebelumnya. Karena untuk melaksanakan
desentralisasi pendidikan secara nasional di seluruh wilayah Indonesia
tampaknya mengalami banyak kesulitan, karena sejumlah masalah dan kendala yang
perlu diatasi. adapun kendala
dalam pelaksanaan otonomi pendidikan di wilayah Indonesia adalah sebagai berikut:
d. Masalah desentralisasi manajemen kurikulum.
Seperti yang diketahui bahwa masyarakat Indonesia
bersifat heterogen dengan berbagi macam kebudayaan , suku, sumber daya alam,
dan bahkan sumber daya manusianya. Maka setiap daerah punya kesiapan dan kemampuan yang berbeda beda dalam pelaksanaan
desentralisasi pendidikan. Munculnya Masalah pengangguran bagi para lulusan disebabkan hubungan pendidikan selama ini diarahkan pada
kurangnya kepercayaan pemerintah kepada daerah untuk menata sistem pendidikannya
sesuai dengan perkondisian daerahnya.. Oleh
karena itu desentralisasi kurikulum
menjadi alternatif yang harus dilakukan. Akan tetapi Pelaksanaan
kurikulum muatan lokal yang saat ini diberlakukan memiliki persentase lebih
kecil daripada kurikulum nasional.
Jika
dilihat dari kurikulum sekolah mulai
dari kurikulum Sekolah dasar (SD) sampai
dengan Sekolah menengah atas (SMA) terlihat kurikulum amat terstruktur dan sarat beban hal ini tentu menyebabkan
proses pembelajaran di sekolah menjadi steril terhadap keadaan dan perubahan
lingkungan fisik dan sosial yang berkembang dalam masyarakat. Akibatnya proses pendidikan
menjadi tidak menarik dan kurang memupuk kreatifitas siswa utk belajar serta
guru dan pengelola pendidikan dalam menyusun dan melaksnakan pembelajaran yang
inovatif. Walaupum telah dilakukan desentralisasi kurikulum dalam artian bahwa kurikulum yang dilaksanakan di
sekolah-sekolah, baik didasarkan pada jenjang dan jenis pendidikan telah
diatur oleh pemerintah pusat.
Dalam hal
ini pemerintah daerah hanya bertugas untuk mengembangkan kurikulum. Terutama
pada usaha mengembangkan kurikulum, unsur-unsur budaya dapat diperkenalkan
kepada masyarakat melalui pelajaran di sekolah. Hanya saja, unsur-unsur yang
terkandung dalam kurikulum nasional hanya berbasis Nasional, belum mengarah
kepada kurikulum global. Selain itu, untuk penetapan standar pendidikan masih bersifat
sentralisasi, karena di daerah tidak memiliki kewenangan untuk menetapkan
standar dalam pendidikan, hanya sebatas oprasional dan penyesuaian.
Terkait dengan standar
pendidikan Pemerintah melalui Undang-Undang Nomor. 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (UU SISDIKNAS), telah memberikan pedoman bagi kita untuk memiliki suatu sistem
pendidikan nasional yang bermutu, dalam pengertiannya yang dapat menjamin
terpenuhi kebutuhan masyarakat akan sumber daya manusia yang berkualitas.
Berdasarkan
hal itu untuk menciptakan pendidikan yang berkualitas dan selaras bagi semua
siswa di daerah maka pemerintah menjadikan UN Sebagai gerbang standar bagi
pelajar dalam tingkat satuan pendidikan sebagai syarat kelulusan. Dalam
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 59 tahun 2011 telah ditetapkan kriteria
kelulusan peserta didik dengan pembobotan 60% berasal dari nilai Ujian
Sekolah/Madrasah (US/UM) dan 40% dari nilai rata-rata rapot. Hal ini kemudian
menjadi sesuatu yang menyeramkan serta
sulit baik bagi siswa sebagai peserta maupun sekolah sebagai penyelenggara bagi
siswa UN merupakan sesutu yang menakutkan. Dengan dilaksanakannya UNAS tahun
2003 mengundang kontroversi, tidak sedikit elemen masyarakat yang menolak
dilakukan ujian secara nasional tersebut dengan alas an kondisi obyektif pendidikan dimasing masing daerah terdapat
kesenjangan, pemerataan, fasilitas, jumlah guru , kualitas gutru,
penyelenggaraan pendidikan, kondisi lingkungan dan sebagainya. Secara
konseptual sebenarnya apa yang diinginkan oleh pemerintah untuk meningkatkan kualitas dan standarisasi
nasional adalah baik. Tapi hal tersebut tidak realistis.
Dalam UU Sisdiknas telah dijelaskan bahwa hak untuk
mengevaluasi pendidikan adalah guru. Namun, ketika hak itu diambil alih secara
paksa oleh pemerintah, guru hanya mampu menerima kebijakan pemerintah walaupun
hal itu tidak diinginkan oleh guru. Bahkan, ketika Ujian nasional dilaksanakan, guru tanpa
sadar mendukung program itu. Guru tidak
kuasa lagi menolak segala sesuatu yang telah menjadi keputusan politik
pemerintah.
Akibat dengan dilakukannya kebijakan tersebut kepala daerah dinas provinsi daerah otonom berupaya bagaimana memperoleh nilai
ujian yang melebih standar minimum yang ditetapkan, maka kemudian banyak daerah
yang mencanangkan lulus UN 100% sebagai target
pencapaian bidang pendidikan. Target
yang ditetapkan oleh kepala daerah kemudian disosialisasikan oleh dinas
pendidikan dan dibebankan kepada para kepala sekolah untuk pencapaiannya. Banyak
kepala sekolah yang menyadari keterbatasan dan rendahnya kulitas pendidikan
yang dimiliki sekolahnya, tetapi mereka tetap dituntut untuk memaksimalkan
jumlah lulusan ujian nasional dari lembaga-lembaga pendidikan mereka. Hasilnya,
berbagai macam carapun dilakukan. Contoh hal yang menganggu proses pendidikan adalah try-out yang dilakukan berulang-ulang dan
pengurangan jumlah jam pelajaran non-UN.
Sementara
cara lain yang masih ditemukan dalam proses ujian nasional terjadilah berbagai
masalah seperti terjadinya kecurangan pada setiap pelaksanaan
UN. Mulai dari kebocoran soal, pemberian kunci jawaban hingga kerja sama di
dalam kelas sewaktu ujian berlangsung. Ini
dilakukan dikarenakan selain agar setiap siswa lulus juga untuk menjaga
reputasi sekolah dimana siswanya lulus semua.
Selain itu pula guru menempuh cara cara
curang dimana para pendidik ini menjadi fokus hanya pada bagaimana cara agar
siswa bisa lulus pada mata pelajaran yang diujikan di UN. Potensi siswa
yang beragam pun menjadi terabaikan. Degradasi moral peserta dan penyelenggaraan
ini benar benar memprihatinkan banyak
pihak yang masih memiliki nilai-nilai kebenaran dan kejujuran. UN bukan menjadi
ujian yang melatih keterampilan dan pengetahuan siswa lagi, sudah menjadi
tempat untuk dilakukannya tindakan kecurangan.
Melihat kondisi seperti ini pemerintah
pusat melakukan respon dengan cara mengganti sistem pelaksanaan UN, mulai dari
UN dua paket, lima
paket, dan sekarang 20
paket. Perbaikan
sistem ini sejatinya hanya bertujuan tunggal, meminimalisasi adanya
contek-mencontek atau ketidakjujuran dalam UN. Namun tetap saja setiap tahun
praktik kecurangan itu berlangsung dan bergantinya sistem pelaksanaan UN itu sekaligus
mengindikasikan masih lemahnya sistem pendidikan di Indonesia.
Fenomena
UN lainnya terjadi pada pelaksanaan UN tahun 2013 ini dimana terjadi hambatan
pada distribusi soal yang mengakibatkan ditundanya pelaksanaan UN di 11 provinsi. Selain itu pula
terjadi fenomena tertukarnya lembar soal, kurangnya lembar soal hingga boleh
difotocopy dengan jumlahyang tak terbatas,sampai dengan beredarnya bocoran
lembar kunci jawaban.
Orientasi
nilai ujian nasional yang menjadi tujuan penyelenggaraan pendidikan daerah dan lembaga-lembaga
pendidikan pada gilirannya menciderai bahkan merusak mental penyelenggara pendidikan
dan terlebih parah lagi mental para siswa. Seolah prinsip menghalalkan segala
cara untuk mencapai tujuan menjadi bagian dari proses pendidikan kita.
e. Masalah
desentralisasi manajemen SDM.
Persoalan
SDM merupakan salah satu tuntutan
pendidikan, dimana tuntutan SDM mengalami dinamisasi kualitas. Standar
mutu dituntut setiap jenis pekerjaan sesuai dengan tuntutan kualitas produk dan kualitas jasa yang diharapkan untuk memenuhi kepuasan hidup manusia. Sumber daya manusia
merupakan pilar yang paling utama dalam melakukan implementasi desentralisasi
pendidikan. Banyak kekhawatiran dalam bidang kesiapan SDM ini, diantaranya belum terpenuhinya lapangan kerja dengan kemampuan
sumber daya yang ada. Sumber daya manusia yang kurang profesioanal akan menghambat pelaksanaan
sistem pendidikan.
Sejak
dilaksanakan otonomi daerah, di berbagai daerah otonom Penataan SDM
yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan dan keahliannya menyebabkan
pelaksanaan pendidikan tidak profesional. Banyak tenaga kependidikan yang latar
belakang pendidikannya tidak relevan ditempatkan di dunia kerja
yang ditekuninya. Pengelolaan SDM di daerah, provinsi maupun
kabupaten dan kota sangat memprihatinkan. Pimpinan daerah
terkadang menempatkan SDM secara serampangan dan jarang memperhatikan aspek
professionalisme. Koordinasi lembaga juga
terhambat karena tidak ada hubungan secara hirarkis antara lembaga yang
ada di kabupaten dengan provinsi. Akibatnya pelaksanaan pendidikan tidak
professional. Dan hal ini akan berpengaruh pada mutu pendidikan.
Ketidaksiapan juga dapat dilihat dari
ketersediaan fasilitas pendidikan di daerah-daerah. Daerah-daerah baru yang
merupakan pemekaran dari provinsi atau kabupaten yang sudah lebih dulu ada
seringkali masih belum memiliki perangkat, fasilitas dan sarana pendidikan yang
memadai. Efek lebih lanjut dari ketidak siapan daerah dalam pengelolaan dan
penyelenggaraan pendidikan adalah adanya kesenjangan prestasi belajar siswa
dari berbagai daerah. Sudah dapat dipastikan bahwa daerah atau kota yang memiliki pendapatan daerah yang
lebih besar, fasilitas,sarana dan parasarana pendidikan yang lebih lengkap,
serta sumberdaya manusia yang lebih baik mampu menyelenggarakan pendidikan yang
lebih berkualitas serta hasil pendidikan yang lebih kompeten.
Sementara
sebaliknya daerah-daerah yang memiliki sumber anggaran yang lebih kecil, fasiltas
dan sarana yang belum lengkap serta sumberdaya manusia yang belum maksimal,
tentu akan sulit mengejar ketertinggalan. Daerah-daerah pada kelompok kedua
inilah yang dapat dikatakan kurang siap untuk menyelenggarakan pendidikan
secara desentralistik.
Adapun
daerah yang merespon desentralisasi pendidikan ini dengan berbagai program yang
bertujuan untuk memajukan pendidikan di daerahnya, baik dalam bentuk peningkatan
kesejahteraan guru, penyediaan sarana dan prasarana inti dan penunjang yang
memadai, pembentukan unit-unit penunjang penyelenggaraan pendidikan, dan
sebagainya. Namun demikian, tidak sedikit pula daerah yang melihat pemberian
kewenangan ini sebagai peluang untuk berbuat yang menguntungkan bagi pribadi
atau kelompoknya. Dari sinilah muncul kemungkinan terjadinya penyalahgunaan
anggaran pendidikan, keberpihakan pada pihak-pihak tertentu yang tidak
berorientasi pada kualitas, penerimaan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan
yang kurang selektif, dan pembuatan program-program yang yang tidak secara
substansial menyentuh kebutuhan pendidikan. Meskipun kecurigaan ini perlu dibuktikan
secara fakta dan hukum, namun fenomena yang sering ditutup-tutupi ini seolah
telah menjadi rahasia umum di berbagai daerah.
f. Masalah
desentralisasi pembiayaan.
Persoalan
dana merupakan persoalan yg penting dalam perbaikan dan pembangunan sistem
pendidikan di Indonesia.
Dana merupakan unsur yang sangat menentukan
dalam keberhasilan penyelenggaraan pendidikan. Selama ini dikeluhkan
bahwa mutu pendidikan rendah karena kurang mencukupinya dana pendidikan.
Anggaran pendidikan masih terlalu rendah.
Dalam UU Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sudah diamanatkan tentang
pentingnya alokasi
anggaran dana untuk pembiayaan dan pembangunan pendidikan ini. Dalam pasal 49 ayat (1) dikemukakan
bahwa “Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan
dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Walaupun sudah diamanatkan seperti itu akan tetapi Dengan berbagai macam
alasan sampai saat ini masih belum bisa dilaksanakan sementara para eksekutif
dan legislatif masih sibuk berdebat sehingga menimbulkan kesan bahwa pendidikan
merupakan bagian dari pembangunan yang belum diprioritaskan. Dana masyarakat
yang selama ini digunakan untuk membiayai pendidikan belum optimal
teralokasikan secara proporsional sesuai dengan kemampuan daerah. Terserapnya
dan masyarakat terpusat membuat daerah menjadi semakin tidak berdaya membiayai
penyelenggaraan pendidikan. Sarana dan prasarana pendidikan sangat tergantung
pandangannya di
pemerintah
pusat.
Sementara itu dalam konteks pembiayaan dengan diberlakukannya
otonomi daerah maka anggaran pendidikan
dialokasikan pada APBD. dari sini terlihat jelas penurunan biaya
penyelenggaraan pendidikan, di samping kurang
pemahaman kepala daerah terhadap pendidikan masih terbatas. Umumnya di daerah para pemimpin
daerah, DPRD dan pengambil kebijakan yang lain bila berbicara tentang
pendidikan semua sepakat bahwa pendidikan adalah suatu yang penting dan harus menjadi
prioritas pembangunan. Namun ketika sampai pada tahap implementasi dan pengambilan
kebijakan terutama menyangkut penganggaran pendidikan di APBD semuanya tidak
ada lagu yang mampu berbuat banyak.bagi pimpinan daerah pendidikan mungkin saja
merupakan prioritas keberapa setelah mobil dinas, rumah dinas. proyek fisik dan lain sebagainya.
g. Masalah
desentralisasi manajemen sarana dan prasarana.
Sarana dan
Prasarana Penetapan standar sarana dan prasarana ini mengikuti ketetapan dari
Pemerintah pusat. Pemerintah provinsi hanya berlaku sebagai pengawasan
terhadap pemenuhan standar nasional sarana dan prasarana pendidikan
menengah. Untuk pengawasan pemenuhan standar nasional sarana dan prasarana
pendidikan dasar, pendidikan menengah dan nonformal itu merupakan tanggungjawab
dari Pemerintah Kabupaten/Kota. Meskipun demikian, tidak semua pemerintah
Kabupaten/Kota mampu memenuhi stnadar sarana dan prasarana.
Penyediaan
atau peningkatan sarana dan prasarana pendidikan perlu untuk ditingkatkan untuk
meningkatkan akses terhadap pendidikan.
Persoalan akses tentu tidak mengganggu penyelenggaraan pendidikan di kota-kota
yang prasarana transportasinya memadai. Namun ia menjadi masalah besar di
daerah-daerah yang memiliki wilayah yang cukup luas, banyak masyarakat yang
tinggal di daerah yang sulit dijangkau, dan prasarana transportasi yang kurang memadai.
Persoalan geografis dan fasilitas transportasi sering menjadi kendala utama
pemerataan akses pendidikan. Pada gilirannya persoalan akses ini juga
mempengaruhi tingkat partisipasi pendidikan. Oleh karena itu, perlu dipikirkan
berbagai alternatif bagi daerah-daerah yang memilikimasalah dengan keterbatasan
akses, karena berbagai kendala di atas. Sumber daya, baik manusia maupun benda,
juga perlu mendapatkan perhatian serius.
Banyak
daerah yang melakukan otonomi pendidikan tidak didukung oleh sumber daya pendidikan
yang memadai. Keterbatasan sumber daya ini terjadi sebagai akibat dari tidak
meratanya penyebaran penduduk, tidak seimbangnya penyebaran ekonomi dan tidak
meratanya pembangunan. Akibatnya sumber daya yang baik terkonsentrasi di
kota-kota besar.
h.
Persoalan desentralisasi bidang
perundang-undangan.
Pengaturan otonomi daerah dalam bidang pendidikan secara
tegas telah dinyatakan dalam PP Nomor. 25 Tahun 2000 yang mengatur pembagian kewenangan
pemerintah pusat dan provinsi. Semua urusan pendidikan diluar kewenanagn
pemerintah pusat dan provinsi tersebut sepenuhnya menjadi wewnang pemerintah
kabupaten/kota. Ini berarti bahwa tugas dan beban pemerintah daerah
kabupaten/kota dalam menangani layanan pendidikan amat besar dan berat,
terutama bagi daerah yang kemampuan diri (capacity
building) dan sumber daya pendidikannya kurang.
Otonomi daerah
bidang pendidikan bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota
tapi juga dibebankan pada lembaga pendidikan (sekolah, perguruan tinggi, kursus
dsbnya) sebagai penyelenggara pendidikan terdepan dan dikontrol oleh
stakeholder pendidikan (orang tua, tokoh masyarakat, yayasa pendidikan, LSM,
DPRD dan sebagainya yang mempunyai perhatian bidang pendidikan).
Dalam
konteks otonomi daerah, Dengan adanya
tantangan pendidikan maka perlu dikaji strategi untuk mengembangkan pendidikan
yang lebih memberikan harapan dimasa mendatang sesuai dengan misi pendidikan
nasional yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan merespon perkembangan global
pada abad XXI. Maka arah kebijakan pendidikan nasional ke depan tetap mengacu
pada tiga hal, yaitu:
1). Perluasan dan pemerataan layanan
pendidikan yang bermutu
2). Peningkatan mutu pembelajarandan
lembaga pendidian
3). Perbaikan kapasitas dan
manajemen pendidikan.
Di daerah
otonomi akses, kualitas pendidikan dan
pemerataan pendidikan harus ditingkatkan
oki daerah harus meningkatkan sumber daya daerah yang ada untuk meningkatkan mutu
pendidikannya.
i.
Masalah pembinaan dan koordinasi.
UU Nomor 32 Tahun 2004 pada dasarnya mengamanatkan bahwa
dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, pemerintah berkewajiban untuk
melakukan permbinaan agar permasalahan yang muncul dapat diminimalisir. Di samping pembinan koordinasi juga
perlu untuk dilakukan, untuk menghindari terjadinya tumpang tindih program. Sayangnya
dalam pelaksanaan otonomi daerah pembinaan dan koordinasi sulit dilakuakkn. Hal
ini disebabkan adanya gengsi antar pejabat. Meskipun
desentralisasi sudah ada dalam peraturan regulasi otonoim daerah, tetapi dalam kelembagaan dan sikap akademik
guru, kepala sekolah dan jajaran dinas pendidikan sebagai atasannya belum
sinkron. Pemerintah daerah belum menunjukkan penampilan dan cara kerja yang
jelas, dan yang mereka lakukan masih pada pemanfaatan dana, bukan pada “academic activity”.
Berdasarkan
pemaparan diatas maka penulis menganalisa bahwa pelaksanaan otonomi pendidikan masih belum sempurna karena masih banyak mengalami
hambatan. Hal ini dapat dilihat bahwa kualitas sumber daya manusia (SDM) di
dunia pendidikan kita yaitu sekolah masih rendah terutama di daerah pedesaan
atau daerah terpencil. Selain itu kita dapat melihat kualitas guru antara
sekolah yang satu dengan sekolah yang lain berbeda, demikian pula antara guru
yang ada di masing-masing daerah juga tidak sama, sehingga hal ini berpengaruh
pada pelaksanaan otonomi pendidikan di
masing-masing sekolah.
Adanya desentralisasi pendidikan seakan akan
pemerintah telah memberikan otonomi kepada sekolah padahal jika dilihat dan diamati sebagian
besar sekolah di daerah-daerah khususnya daerah terpencil dan masyarakat belum siap untuk menerima hal
itu. Selain rendahnya SDM, otonomi pendidikan juga mengalami hambatan
disebabkan karena peran serta
masyarakat khususnya orang tua sangat minim. Selama ini partisipasi masyarakat
hanya lebih banyak sifatnya berupa dukungan dana bukan pada proses pendidikan.
Berkaitan
dengan proses pendidikan tersebut, sekolah tidak punya beban untuk
mempertanggung jawabkan hasil pelaksanaan pendidikan kepada masyarakat, khususnya
kepada orang tua siswa, sebagai salah satu pihak utama yang berkepentingan
dengan pendidikan. Di samping itu banyak orang tua siswa dan masyarakat di
pedesaan tidak mau terlibat dalam hal komite
sekolah/madrasah. Masyarakat biasanya berpikir bahwa mereka menyerahkan sepenuhnya
urusan pendidikan kepada pihak
sekolah.
Di samping
dua faktor penghambat di atas penulis juga menganalisa bahwa tidak sempurnanya
pelaksanaan otonomi pendidikan disebabkan karena sarana dan prasarana pendukung
pendidikan masih sangat terbatas di sekolah. Mulai dari bangunan sekolah yang
kurang layak dipakai bahkan hal yang paling mendasar yaitu buku-buku pelajaran
juga kurang mencukupi. Umumnya hal ini dialami oleh sekolah-sekolah swasta seperti di lingkungan madrasah atau
pondok pesantren ataupun sekolah negeri yang berada di pedesaan dan daerah
terpencil. Disatu sisi kita memang dihadapkan pada keharusan untuk meningkatkan
mutu dan kualitas pendidikan sementara jika kita melihat disisi lain kita harus
mempersiapkan sarana dan prsarana yang masih kurang. Karena kurangnya sarana
dan prasarana dalam proses pendidikan tentu akan berpengaruh terhadap
pencapaian tujuan dalam rangka meningkatkan mutu atau kualitas pendidikan.
Di lembaga
pendidikan baik negeri ataupun swasta memiliki kelemahan dalam hal manajemen
sekolah, karena jika diamati manajemen/pengelolaan sekolah lebih banyak ditentukan oleh atasan bisa
kepala sekolah/madrasah. Pelaksanaan manajemen dibanyak sekolah belum maksimal
karena terkadang ada sekolah yang atasannya masih bersifat otoriter. Selain itu
sikap mental para pengelola pendidikan, baik yang memimpin ataupun yang
dipimpin terkadang bergerak karena adanya
perintah atasan, bukan karena rasa tanggung jawab. Kepala sekolah terkadang kurang memberikan kepercayaan, tidak
memberikan kebebasan berinisiatif, sehingga dalam hal mutu pendidikan terkadang
tidak ada tindak lanjut dari evaluasi program. Hampir semua program di monitor
dan dievaluasi dengan baik, namun tindak lanjutnya tidak dilaksanakan.akibatnya
pendidikan selanjutnya tidak ditandai oleh peningkatan mutu.
Dalam hal
yang lebih luas lagi terkadang para Bupati/
Walikota sebagai penguasa di daerah juga kurang memperhatikan kondisi
pendidikan di daerahnya sehingga anggaran pendidikan belum menjadi perioritas
utama.
Adapun
solusi untuk mengatasi hambatan hambatan diatas yaitu dengan cara menyiapkan
SDM yang berkualitas karena kualitas SDM
sangat menunjang terhadap berhasilnya proses
dalam bidang apapun. Termasuk dalam proses pendidikan. Karena SDM
merupakan komponen yang sangat penting dalam proses pendidikan dan SDM yang
berkualitas tentu akan melahirkan siswa yang berkualitas pula. Selain itu, sekolah
harus memperhatikan output yang dihasilkan apa dan bagaimana proses dilakukan,
sehingga output yang dihasilkan
berkualitas. Jangan hanya memikirkan inputnya saja, karena bila input dan
proses pembelajaran juga lemah tidak ditunjang oleh komponen komponen
pendidikan yang berkualitas, maka output yang dihasilkan juga akan rendah.
Selain itu sekolah harus memberdayakan komite sekolah karena bagaimanapun komite sekolah adalah
mitra sekolah yang punya tanggung jawab untuk meningkatkan kualitas sekolah,
dan perlu diajak untuk memberikan solusi terhadap permasalahan sekolah.
Selain itu
pihak sekolah, masyarakat dan orang tua harus bekerja sama dan membangun
komunikasi yang harmonis di dalam mendukung proses pembelajaran. Karena tanpa
komunikasi yang komunikatif maka kita akan sulit mencapai hasil sebagaimana
yang disebutkan dalam SISDIKNAS. Ketiga komponen ini harus mampu bersinergi dan
bekerja sama yang baik dalam mewujudkan siswa yang berkualitas. Menjalin
komunikasi dan kerja sama antara pihak sekolah dengan masyarakat khususnya
orang tua siswa. Karena orang tua dan masyarakat berperan dalam memajukan
pendidikan di sekolah. Untuk itu hubungan sekolah dan masyarakat merupakan
sarana yang sangat dibutuhkan dalam meningkatkan mutu pendidikan. Sekolah
merupakan salah satu lembaga pendidikan yang tidak dapat dipisahkan dari
masyarakat dan lingkungan sekitarnya, begitu juga sebaliknya .karena keduanya
memiliki kepentingan yang sama.
Sekolah
merupakan lembaga formal yang diserahi tugas untuk mendidik melatih dan
membimbing generasi muda bagi peranannya di masa depan. Akan tetapi seharusnya
masyarakat tidak menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab pendidikan kepada
sekolah. Melainkan masyarakat harus juga turut serta dan aktif dalam
pendidikan. Kedua duanya harus menjalankan fungsi dan perannya dalam pendidikan
jadi hubungan antara sekolah dan masyarakat sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan otonomi pendidikan.
Salah satu cara untuk mencapai hubungan tersebut antara sekolah dan masyarakat dibina suatu
hubungan dan komunikasi yang harmonis.
Terciptanya
hubungan sekolah dan masyarakat dengan baik akan berpengaruh dalam berhasilnya
otonomi pendidikan.jika sekolah mampu memperhatikan outputnya, memberikan
wewenang sepenuhnya kepada kepala sekolah untuk memobilisir semua komponen yang
ada di bawahnya, dengan dilengkapi fasilitas, sarana dan prasarana yang
dibutuhkan dalam proses pendidikan, memberdayakan komite sekolah serta menjalin
komunikasi yang baik dengan masyarakat khususnya orang tua siswa maka proses
pelaksanaan otonomi pendidikan disekolah
tidak akan menghadapi permasalahan dan hambatan.
Solusi
berikutnya yaitu membangun dan menyediakan sarana dan prasarana yang memadai. Karena
sarana dan prasarana ini mendukung proses pendidikan untuk menghasilkan output yang berkualitas. Dalam kaitannya
dengan hal ini maka sekolah harus perlu untuk membangun atau merenovasi ruang
belajar yang layak, selain itu sekolah juga harus membangun laboratorium
beserta perangkat pendukung yang dibutuhkan , membangun perpustakaan beserta
perangkatnya, seperti toilet, WC, lapangan olah raga dan sebagainya.
Dalam hal
manajemen sekolah maka sekolah harus meningkatkan manajemen pendidikan sekolah.
Suatu pendidikan disebut berkualitas dan segi proses jika proses belajar
mengajar berlangsung secara efektif, dan peserta didik mengalami pembelajaran
yang bermakna, artinya siswa menguasai materi dan hasil pendidikan sesuai dengan kebutuhan
siswa dalam kehidupannya serta hasil
pendidikan yang didapat oleh siswa sesuai dengan tuntutan dunia kerja.
Adanya kondisi dari setiap daerah tidak memiliki kekuatan
yang sama dalam penyelenggaraan pendidikan disebabkan perbedaan sarana, prasarana
dan dana yang dimiliki. Hal ini mengakibatkan akan terjadinya kesenjangan antar
daerah, sehingga pemerintah perlu membuat aturan dalam penentuan standar mutu
pendidikan nasional dengan memperhatikan kondisi perkembangan kemandirian
masing-masing daerah.
C.
KESIMPULAN.
1. Desentralisasi dan otonomi
pendidikan ialah memberikan kesempatan
kepada rakyat untuk mengambil keputusan di lapangan mengenai bentuk, proses,
keberadaan lembaga pendidikan yang sesuai dengan tuntutan kehidupannya. Dengan
kata lain desentralisasi dan otonomi pendidikan bertujuan memberdayakan rakyat.
2. Dasar
hukum otonomi pendidikan
adalah undang-undang No. 22
tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah secara resmi mengakhiri sistem
pemerintahan sentralistik yang memberikan kekuasaan teramat besar kepada
pemimpin negara. Sebagai tindak lanjut dari UU tersebut dikeluarkan Peraturan pemerintah no. 25 tahun 2000 tentang
pembagian kewenangan provinsi sebagai daerah otonom. Terkait dengan masalah
pendidikan pemerintah merumuskan dan menetapkan dan mengimplementasikan
kebijakan berupa UU no 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional sebagai
dasar hukum bagi para pejabat pemerintahan yang diberi tugas dalam melaksanakan
pendidikan di Indonesia. Kelanjutan dari Peraturan Pemerintah tersebut dikeluarkan
Undang- -Undang No. 32 tahun 2004
tentang otonomi daerah, yang kemudian direvisi dengan UU No. 12 tahun 2008
yang juga mengatur Pemerintahan Daerah.
3. Konsep
otonomi pendidikan berdasarkan
UU sisdiknas, daerah otonomi harus
memiliki visi dan misi pendidikan yang jelas dan jauh ke depan dengan melakukan
pengkajian yang mendalam dan meluas tentang perkembangan penduduk dan
masyarakat untuk memperoleh konstruk masyarakat di masa depan dan tindak
lanjutnya, merancang sistem pendidikan yang sesuai dengan karakteristik budaya
bangsa Indonesia di masa mendatang. Dalam otonomi/desentralisasi pendidikan
terjadi pelimpahan wewenang dan tanggung jawab kepada daerah
hal ini membawa konsekwensi terhadap pembiayaan guna mendukung proses
desentralisasi sebagaimana termuat dalam pasal 12 ayat 1 UU no. 32 tahun 2004.
Sejalan dengan adanya otonomi pendidikan tersebut maka tanggung jawab
pemerintah daerah semakin meningkat dan luas, termasuk dalam manajemen
pendidikan.
4. Pelaksanaan otonomi pendidikan di Indonesia selama ini mengalami banyak hambatan dan permasalahan
adapun permasalahan tersebut diantaranya masalah peningkatan mutu
pendidikan, masalah desentralisasi manajemen kurikulum,
masalah desentralisasi manajemen SDM, masalah desentralisasi pembiayaan, masalah
desentralisasi manajemen sarana dan prasarana, persoalan desentralisasi bidang
perundang-undangan dan Masalah pembinaan dan koordinasi.
Hasbullah, Otonomi Pendidikan; Kebijakan Otonomi
Daerah Dan Implikasinya Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2007), h. 7.
Hasbullah, Otonomi Pendidikan: Kebijakan Otonomi
Daerah Dan Implikasinya Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan, h. 56.