Jumat, 01 Januari 2016

Astronot Neil Amstrong Mendengar Adzan di Bulan

Begitu menjejakkan kaki di bulan Astronot Neil Amstrong mendengar suara dalam lafaz yang asing baginya , suara itu terdengar begitu syahdu. tapi saya tak paham apa artinya unkap Astronot Neil Amstrong kepada majalah mingguan The Star Malasysia . teka teki itu baru terjawab selang beberapa tahun kemudian setelah pengalaman Astronot Neil Amstrong di bulan pada tahun 1969 ketika Astronot Neil Amstrong berkinjung ke Kairo . ia kembali mendengar suara yang sama ternyata lafaz itu didengar Astronot Neil Amstrong itu adalah suara azan, panggilan untuk bersembahyang bagi ummat Islam . sejak itu saya mulai rajin mempelajari Islam
dan akhirnya dengan kesadaran sendiri saya memeluk agama tersebut ( Islam ) kata Astronot Neil Amstrong.menjadi seorang Muslim bukan tak ditebus mahal oleh Astronot Neil Amstrong ia kini 53 tahun diberhentikan dari tempatnya bekerja yang perusahaannya tak disebutkan. terakhir ia dikabarkan ia menjadi petugas Humas, sekaligus Pilot penguji pada pabrik pesawat terbang Boeing. saya tak peduli dengan semua itu, ujarnya. yang penting saya telah menemui agama yang cocok . Astronot Neil Amstrong yang menikah dengan Janet Sheron yang dikarunia dua putra, sebelumnya beragama Protesten , demikian menurut majalah tempo.

Astronot Neil Amstrong telah mendengar Al-kalimatuttayyib suara suci yang menyentuh hati nuraninya, yang menggetarkanjiwanya, suatu nur yang menemui sasarannya sehingga membawanya menjadi sorang yang beriman. Allahu Akbar walillahil hamdu . suatu yang masyiatullah yang tak dapat terbendung dengan apapun . kejadian itu adalah suatu sebab saja, yang sebenarnya adalah kehendak Allah jua yang berlaku. seorang yang dicekoki dengan indoktrinasi kerohanian pagi dan petang, tanpa hidayat dan taufik tiadaklah kan memperoleh karunia besar ini, Bani israil di zamannya nabiyullah Musa As. yang mengelami hal-hal yang luar biasa, sembilan mu’jizat Musa As. karna tak peroleh petunjukkanya tidak kunjung beroleh Iman bahkan diantara mereka ada yang mendengar kalamullah

Kalau ada teori yang mengatakan bahwa segala suara yang ada di bumi ini , segenap bunyi yang dikumandangkan akan tertampung dan terkumpul di angkasa, maka menurut nas Al- Qur’an bahwa yang naik ke alam samawi , ke langit itu hanyalah kalimat-kalimat suci. dan segenap amal saleh , gelak bahak maksiat dan hardik kezaliman tak akan beranjak ke alam samawi hanyalah ke sijjin tempat kehinaan di arah bumi yang paling bawah
Suara Azan, Tilawatil Qur’an ,Azkar dan Awrad Assalatu Alan Nabi dan segenap amal saleh itulahjua yang akan naik kelangit, langsung kehadirat tuhannya.
perhatikanlah firman Allah SWT dalam surat Fatir ayat : 10 :
من كان يريد العزة فلله العزة جميعا إليه يصعد الكلم الطيب والعمل الصالح يرفعه والذين يمكرون السيئات لهم عذاب شديد ومكر أولئك هو يبور

Artinya :
Barang siapa yang menghendaki kemulian, maka bagi Allah lah kemulian itu semuanya, kepada-nyalah naik kalimat-kalimat yang suci dan amal saleh dinaikkannya. dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka azab yang keras, dan rencana jahat mereka akan hancur

Sumber :
Kitab Taudihatul Adillah Jilid VII Halamn: 1
oleh : K.H.M. SYAFI’I HADZMI
Penerbit : Menara Kudus

Sabtu, 17 Oktober 2015

MBS :Manajemen Berbasis Sekolah



MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS)
Oleh
 Zahraini dan Imran

ABSTRAK
Pemerintah Indonesia telah melakukan otonomi daerah seiring dengan perkembangan globalisasi. Dalam mewujudkan otonomi daerah tersebut pemerintah juga mengeluarkan kebijakan desentralisasi pemerintahan. Adanya otonomi daerah ini diharapkan masyarakat akan mendapatkan Iayanan publik yang lebih baik, lebih cepat, dan lebih bertanggung jawab dalam urusan pemerintahan. Termasuk salah satu bidang pemerintahan yang didesentralisasikan adalah bidang pendidikan.
Pelaksanaan otonomi daerah khususnya bidang pendidikan di Indonesia mengalami sejumlah masalah, baik masalah yang bersifat konseptual maupun faktual. Apabila permasalahan ini tidak segera ditangani maka dikhawatirkan bahwa desentralisasi manajemen atau pengelolaan pendidikan akan membawa dampak negatif yang lebih kompleks seperti masalah disintegrasi bangsa.  Oleh karena itulah Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003 memberikan dukungan yang tegas dan jelas dalam penyelenggaraan otonorni daerah bidang pendidikan dengan tetap berpegang pada satu sistem pendidikan nasional dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Key Word: MBS, Otonomi pendidikan , desentralisasi pendidikan.

A.      PENDAHULUAN
Desentralisasi merupakan penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sistem  desentralisasi  merupakan kebalikan dari sentralisasi, dimana sebagian wewenang pemerintah pusat dilimpahkan kepada daerah untuk dilaksanakan.
Dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah ditegaskan bahwa berubahnya sistem pendidikan nasional yang bersifat sentralistis ke sistem desentralisasi disebabkan karena  sistem pendidikan yang sentralisasi selama ini dilaksanakan kurang bisa mengakomodasi keberagaman daerah,  keberagaman  sekolah,  serta keberagaman peserta didik, bahkan cenderung mematikan partisipasi masyarakat dalam  pengembangan  pendidikan.
Desentralisasi sebagai suatu kebijakan politik sangat berpengaruh dalam proses pembangunan pendidikan. Meskipun desentralisasi pendidikan merupakan sebuah keharusan, namun dalam realitasnya, pelaksanaan desentralisasi pendidikan terkesan satu tindakan yang agak tergesa-gesa dan tidak siap. Hal ini bisa dilihat dari belum memadainya sumber daya manusia ( SDM ) daerah, sarana dan prasarana yang kurang memadai, manajemen pendidikan yang belum optimal, disamping juga sekian banyak permasalahan yang masih dihadapi dunia pendidikan di daerah.
Diantara persoalan yang dihadapi pendidikan di daerah sekarang adalah menyangkut mutu lulusan yang masih rendah, kondisi fisik sekolah yang memperhatinkan, kurangnya guru dan kualifikasinya yang tidak sesuai, ketidakmerataan penyelenggaraan pendidikan, merupakan pekerjaan rumah yang cukup berat bagi pemerintah daerah dalam keragaman pelaksanaan otonomi daerah. Pemahaman dan komitmen yang kuat dari pemerintah daerah tentang pendidikan sangat diperlukan dalam upaya menjawab berbagai permasalahan tersebut.

B.       PEMBAHASAN
  1. Pengertian  Otonomi Pendidikan.
Kata otonomi   berasal dari  bahasa Yunani yaitu autos yang berarti sendiri dan nomos yang berarti hukum atau aturan. Secara etimologi otonomi diartikan sebagai perundangan sendiri. Menurut Ateng Syafrudin otonomi diartikan sebagai kebebasan dan kemandirian tapi bukan kemerdekaan.[1] Syarif Saleh mengartikan otonomi sebagai hak mengatur dan memerintah daerah sendiri, hak yang diperoleh dari pemerintah pusat.[2]
Sedangkan   ada juga yang memberikan  pengertian bahwa otonomi pendidikan adalah adanya pemberian wewenang dari pemilik wewenang (atasan) kepada pelaksana (penguasa dibawahnya). Dalam konteks Indonesia otonomi atau desentralisasi diartikan sebagai penyerahan wewenang disertai tanggung jawab pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka Negara kesatuan RI.[3]
Dari beberapa definisi tentang otonomi pendidikan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa   desentralisasi dan otonomi pendidikan tidak hanya sekedar membagi proses pengambilan keputusan atau menyerahkan kekuasaan dari pusat ke daerah tetapi desentralisasi dan otonomi pendidikan mempunyai makna yang sangat besar sebagai perwujudan penghargaan atas hak dan kewajiban rakyat untuk memutuskan sendiri pendidikan untuk anak-anaknya. Desentralisasi dan otonomi pendidikan  intinya ialah memberikan kesempatan kepada rakyat untuk mengambil keputusan di lapangan mengenai bentuk, proses, keberadaan lembaga pendidikan yang sesuai dengan tuntutan kehidupannya.Dengan kata lain desentralisasi dan otonomi pendidikan bertujuan memberdayakan rakyat.
2.      Dasar  Hukum  Otonomi Pendidikan
Salah satu tugas negara adalah  mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 alenia ke empat yang berbunyi bahwa pendidikan merupakan hak semua warna negara. Oleh karena itu pemerintah sebagai pemegang kekuasaan dari rakyat berkewajiban memberikan layanan  kebutuhan pendidikan. Dengan mengeluarkan  Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah secara resmi mengakhiri sistem pemerintahan sentralistik yang memberikan kekuasaan teramat besar kepada pemimpin negara. Sebagai Tindak lanjut dari UU tersebut dikeluarkan  Peraturan pemerintah no. 25 tahun 2000 tentang pembagian kewenangan provinsi sebagai daerah otonom. Dengan dikeluarkannya peraturan pemerintah  ini  mendorong terjadinya reformasi pada setiap departemen dalam menjalankan kewenangan yang diberikan kepadanya selama ini.  Dijelaskan dalam Bab IV pasal 7 ayat 1 bahwa kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali dalam bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan moneter dan fiskal agama serta kewenangan dalam bidang lain.
Terkait dengan masalah pendidikan pemerintah merumuskan dan menetapkan dan mengimplementasikan kebijakan berupa UU no. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional sebagai dasar hukum bagi para pejabat pemerintahan yang diberi tugas dalam melaksanakan pendidikan di Indonesia. UU ini merupakan  pembaharuan dari UU sebelumnya dan menjadi respon terhadap perkembangan kehidupan masyarakat  dalam konteks  era globalisasi dimana tehnologi dan informasi berjalan begitu cepat dan kemudian UU itu dijadikan sebagai dasar reformasi di bidang pendidikan untuk mencapai standar mutu internasional. Dengan diberlakukannya UU no 32tahun 2003 ini, maka sistem pendidikan yang tadinya bersifat sentralistik berubah menjadi desentralistik dalam artian bahwa daerah harus mengurus kepentingannya dalam bidang pendidikan. Adanya desentralisasi pendidikan ini menuntut para penyelenggara pendidikan terutama sekolah untuk memberdayakan SDM yang ada di lingkungan sekolah.ditambah dukungan masyarakat yang terhimpun dalam komite sekolah.
Kelanjutan dari Peraturan Pemerintah tersebut dikeluarkan Undang- -Undang No. 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah, yang kemudian direvisi dengan UU No. 12 tahun 2008 yang juga mengatur Pemerintahan Daerah. Beberapa Undang-Undang di atas merupakan landasan diberikannya kewenangan pengelolaan pendidikan kepada pemerintah daerah. Kewenangan itu diberikan dengan pertimbangan antara lain bahwa pemerintah daerah lebih mengetahui kebutuhan pendidikan didaerah masing-masing, sehingga diharapkan dapat membuat program dan kebijakan yang secara langsung menyentuh kebutuhan pendidikan di daerah.
 3.  Konsep Otonomi  Pendidikan
Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor. 20 Tahun 2003, mengenai otonomi pendidikan terlihat pada Bab Hak dan Kewajiban Warga Negara, Orang tua, Masyarakat dan Pemerintah. Pada Pasal 8 bagian ketiga Hak dan Kewajiban Masyarakat disebutkan bahwa “Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan; dan pada pasal 9 disebutkan bahwa masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan”. Begitu juga pada bagian keempat Hak dan Kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah, pasal 11 ayat (2) “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai lima belas tahun”.
Berdasarkan UU sisdiknas di atas, maka konsep otonomi pendidikan mengandung pengertian yang luas, dimana konsep otonomi pendidikan mencakup filosofi, tujuan, format dan isi pendidikan serta manajemen pendidikan itu sendiri. Hal ini tentu akan berimplikasi bahwa setiap daerah otonomi harus memiliki visi dan misi pendidikan yang jelas dan jauh ke depan dengan melakukan pengkajian yang mendalam dan meluas tentang perkembangan penduduk dan masyarakat untuk memperoleh konstruk masyarakat di masa depan dan tindak lanjutnya, merancang sistem pendidikan yang sesuai dengan karakteristik budaya bangsa Indonesia di masa mendatang.
Dalam otonomi/desentralisasi pendidikan terjadi pelimpahan wewenang dan tanggung jawab kepada daerah hal ini membawa konsekwensi terhadap pembiayaan guna mendukung proses desentralisasi sebagaimana termuat dalam pasal 12 ayat 1 UU no. 32 tahun 2004 disebutkan bahwa  urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang di desentralisasikan. Sejalan dengan adanya otonomi atau desentralisasi pendidikan  yang ditempuh oleh pemerintah ini maka tanggung jawab pemerintah daerah semakin meningkat dan luas, termasuk dalam manajemen pendidikan. Pemerintah daerah diharapkan untuk senantiasa keningkatkan kemampuannya dalam berbagai tahap pembangunan pendidikan, sejak tahap perumusan kebijakan daerah, perencanaan, pelaksanaan, sampai pemantauan atau monitoring di daerah masing maing sejalan dengan kebijakan pendidikan nasional yang digariskan pemerintah.
Terkait dengan desentralisasi diatas, menurut Supriadi dalam Hasbullah mengelompokkan sistem desentralisasi pengelolaan pendidikan menjadi 4 macam.
  1. Suatu Negara menganut sistem pengelolaan pendidikan sentralistik tanpa disertai dengan manajemen berbasis sekolah.
b.    Suatu Negara menganut sistem pengelolaan pendidikan desentralistik (ke tingkat provinsi atau kabupaten kota) tetapi tidak diikuti dengan manajemen berbasis sekolah.
c.    Suatu Negara menganut sistem pengelolaan pendidikan sentralistik tetapi pada saat yang sama mengembangkan manajemen berbasis sekolah
d.   Suatu Negara menganut sistem pengelolaan pendidikan desentralistik  dan sekaligus melaksanakan manajenen berbasis sekolah.[4]

Dari beberapa macam sistem desentralisasi pengelolaan pendidikan yang dikemukakan di atas, Indonesia mengimplementasikan tipe yang ke-4 yaitu desentralistik  sistem pengelolaan pendidikan disertai dengan manajemen berbasis sekolah. Namun demikian beberapa hal menyangkut pembiayaan pendidikan dan kurikulum masih cenderung tergantung pada keputusan-keputusan pemerintah pusat. Hal ini dapat kita pada  pemerintah pusat masih mempertahankan bentuk-bentuk kewenangan di dunia pendidikan, hal ini dilihat dari PP  no. 25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan provinsi sebagai daerah otonomi khususnya pada pasal  2 butir 11 bidang pendidikan tercantum 10 butir kewenangan yang masih dipegang oleh pemerintah pusat. Diantaranya antara lain berhubungan dengan standar kompetensi siswa serta pengaturan kurikulum nasional serta penilaian secara nasional, standar materi pelajaran pokok, gelar akademik, biaya pebnyelenggaraan pendidikan, penerimaan, perpindahan, sertifikasi siswa/mahasiswa, benda cagar budaya, kalender akademik, pemamfaatan hasil penelitian, pengaturan danpengembangan pendidikan jarak jauh,serta sekolah internasional, dan pembinaan  pengembangan bahasa dan sastra Indonesia. [5]
 Sementara itu, kewenangan pemerintah provinsi meliputi hal-hal sebagai berikut: penetapan kebijakan tentang penerimaan siswa dan mahasiswa dari masyarakat minoritas, terbelakang, atau kurang mampu, penyediaan bantuan pengadaan buku pelajaran pokok/ modul pendidikan untuk taman kanak-kanak, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan luar sekolah, mendukung/membantu penyelenggaraan pendidikan tinggi selain pengaturan kurikulum, akreditasi, dan pengangkatan tenaga akademis, pertimbangan pembukaan dan penutupan perguruan tinggi, penyelenggaraan sekolah luar biasa dan balai pelatihan  dan/ atau penataran guru, penyelenggaraan museum provinsi, suaka peninggalan sejarah, kepurbakalaan, kajian sejarah dan nilai tradisional, serta pengembangan bahasa dan budaya daerah.
Diberlakukannya desentralisasi pendidikan  mendapat respon   positif di berbagai wilayah dan sebagian lagi merespon negatif. Adapun yang merespon positif disebabkan:
a.       Desentralisasi pendidikan  sudah merupakan kebijakan yang populis. Desentralisasi pendidikan didukung oleh berbagai lapisan masyarakat, khususnya masyarakat pendidikan di daerah.
b.    Mendapat dukungan yang kuat dari berbagai pihak khususnya dari wakil rakyat yang duduk di DPR-RI. Hal ini dibuktikan dengan disyahkannya berbagai undang-undang yang mengatur tentang otonomi daerah.
c.       Desentralisasi pendidikan  merupakan hal yang ditunggu-tunggu menyusul adanya perubahan sosial politik.
 Kebijakan pemerintah tentang desentralisasi pendidikan sangat  dinanti para politisi dan praktisi pendidikan menyusul adanya perubahan sosial politik yang diawali dengan tumbangnya rezim orde baru pada tahun 1998 yang menuntut adanya reformasi di segala bidang termasuk reformasi pendidikan. Hal ini sejalan dengan cita-cita perjuangan untuk menerapkan azaz keadilan dan pemerataan dalam pembangunan. Oleh karena itu, dukungan dan kontrol dari masyarakat dapat terus berjalan selama kebijakan ini digunakan
d.   Kesiapan  anggaran yang cukup dengan diterapkannya anggaran pendidikan sebanyak 20 % dari APBN tahun 2003.
  Kesiapan anggaran yang cukup dengan diterapkannya anggaran pendidikan minimal sebesar 20 persen dari APBN tahun 2009 sesuai dengan amanat Undang-Undang dan kemungkinan dapat bertambah seiring meningkatnya pertumbuhan ekonomi Negara.
e.       Efisiensi perjalanan anggaran sebagai wujud pemangkasan birokrasi.
Adapun  yang merespon negatif karena disebabkan  daerah belum siap. Ketidak siapan daerah menerima otonomi atau desentralisasi pendidikan  ini disebabkan karena:
a.      Sumber daya manusia belum memadai.
Dalam hal ini terkait dengan kuantiatas atau kualitas SDM. Beberapa daerah SDMnya  belum dapat dengan baik memahami, menganalisis serta mengaplikasikan konsep desentralisasi pendidikan ini. Demikian juga  kualitas dan kuantitas SDM masih terbatas, kalaupun ada yang menyelesaikan magisternya, jumlahnya tidak mencukupi atau tidak memadai.
b.     Sarana dan prasarana belum tersedia secara cukup dan memadai.
Hal ini berhubungan dengan ketersediaan dana yang ada di setiap daerah. Selama ini mungkin daerah-daerah tertentu masih asyik dan terlena dengan sistem dropping yang diterapkan oleh pemerintah pusat. Mereka terkejut ketika tiba-tiba memperoleh kewenangan untuk mengelola secara mandiri sebagian besar urusan pendidikan di daerahnya. Untuk itu daerah belum siap dengan sarana dan prasarana yang diperlukan.
c.      Anggaran Pendapatan asli daerah mereka sangat rendah.
Beberapa daerah tertinggal merasa berat untuk menerima kewenangan desentralisasi pendidikan ini hal ini dikarenakan pembiayaan pembangunan yang mereka lakukan selama ini  banyak ditunjang oleh pusat atau provinsi. Pendapat Asli Daerah (PAD) mereka tergolong masih sangat rendah.
d.     Secara psikologis mental mereka belum siap menghadapi sebuah perubahan.
Perubahan merupakan suatu keniscayaan .namun tidak semua orang memiliki  pandangan dan sikap yang sama terhadap perubahan.sebagian orang menganggap perubahan itu sebagai suatu yang menghawatirknan .hal ini tidak menutup kemungkinan  terjadi juga pada aparat ataumasyarakat daerah tertentu.ketakuatan akan masa depan yang diakibatkan  oleh  pperunbahan yang terjadi, membuat mereka tidak siap secara mental menghadapi perubahan tersebut.
e.      Mereka gamang atau takut terhadap upaya pembaruan.
Pembaharuan dalam bidang pendidikan saat ini kita kenal dengan sebutan pembaruan kurikulum. Setiap kali terjadipembaruan kurikulum, para guru kembali disibukkandengan berbagi kegiatan, eperti penataran, uji coba model, sosialisasi kurikulum, dan sebagainya.semua itu dianggap oleh sebagain  guru sebagai malapetaka atau menjadi beban berat bagi mereka.[6]
4.   Pelaksanaan Otonomi  Pendidikan di Indonesia.
Pelaksanaan otonomi pendidikan yang telah berlangsung selama ini   sering kali mengalami banyak hambatan dan permasalahan  yang berpotensi mengganggu efektivitas, efisiensi, dan profesionalisme pengelolaan pendidikan. Pada era reformasi dan globalisasi ini, pendidikan nasional mengalami banyak tantangan, salah satunya adalah masalah peningkatan mutu pendidikan. Semua lembaga pendidikan dituntut untuk memberikan pelayanan yang baik di dalam proses pendidikan, baik layanan di dalam kelas maupun di luar kelas.
Dengan pemberlakuan otonomi pendidikan diyakini kualitas pendidikan akan semakin maju, dan adanya konsepsi desentralisasi pendidikan yang dikemas dalam program school based management (MBS), yakni suatu sistem manajemen yang bertumpu pada situasi dan kondisi serta kebutuhan sekolah setempat.  Sekolah diharapkan mengenali seluruh infrastruktur yang berada di sekolah, seperti guru, siswa, sarana prasarana, finansial, kurikulum, dan sistem informasi. Unsur-unsur manejemen tersebut harus difungsikan secara optimal dalam arti perlu direncanakan, diorganisasi, digerakkan, dikendalikan dan dikontrol.[7]  
Pelaksanaan otonomi pendidikan di Indonesia merupakan tugas yang berat, yang harus dilaksanakan. Pemberian otonomi pendidikan tidak cukup hanya diberikan pada tingkat propinsi, kabupaten/ kota, namun idealnya harus sampai pada tingkat sekolah/ unit kerja. Kepala sekolah, guru, tenaga administrasi dan tenaga pelaksana diberi tanggungjawab besar dalam melaksanakan otonomi pendidikan tersebut.   
Menurut Tilaar  desentralisasi pendidikan merupakan suatu keharusan. Menurutnya ada tiga hal yang berkaitan dengan urgensi desentralisasi pendidikan. Ketiga hal tersebut antara lain: pembangunan masyarakat demokrasi, pengembangan social capital, dan peningkatan daya saing bangsa.[8]
a.      Masyarakat Demokrasi.
Masyarakat demokrasi (civil society) adalah suatu masyarakat yang antara lain mengakui akan hak-hak asasi manusia. Civil society adalah masyarakat yang terbuka di mana setiap anggotanya merupakan pribadi yang bebas dan mempunyai tanggung jawab untuk membangun masyarakatnya sendiri. Pemerintahan di dalam civil society adalah pemerintahan yang dipilih oleh rakyat dan untuk kepentingan rakyatnya sendiri. Masyarakat demokrasi memerlukan suatu pemerintah yang baik (good government) dan pemerintahan yang bersih (clean governance).
Masyarakat terbuka mengakui akan perbedaan-perbedaan yang ada di dalam masyarakatnya. Perbedaan-perbedaan itu justru merupakan kekuatan dalam civil society. Perbedaan pendapat diakui dan oleh sebab itu diperlukan suatu sikap toleransi yang tinggi. Tanpa toleransi tidak mungkin terwujud suatu masyarakat demokratis. Dengan dalih untuk stabilisasi dan keamanan, hak-hak manusia kadang dikorbankan.
Masyarakat demokratis sangat menjunjung tinggi perbedaan pendapat dan tunduk terhadap keputusan bersama yang telah diambil oleh semua anggota. Dalam masyarakat ini dituntut adanya tanggung jawab individu dan tanggung jawab sosial dari masing-masing anggotanya dalam melaksanakan keputusan bersama tersebut.
Sikap serta nilai yang telah diuraikan di atas yang merupakan ciri khas dari masyarakat demokrasi tidak datang dengan sendirinya tetapi merupakan suatu proses. Proses tersebut adalah proses pendidikan. Civil society tidak lahir dengan sendirinya karena memerlukan suatu sistem nilai yang berbeda dengan masyarakat otoriter. Oleh karena itu transisi dari masyarakat Orde Baru yang serba otoriter dan sentralistis menuju pada masyarakat demokratis yang mengakui akan hak-hak asasi manusia dan menghargai adanya perbedaan antar anggotanya memerlukan suatu proses yang bernama pendidikan.
Pendidikan dasar yang merupakan hak dari semua warga negara merupakan pondasi dari suatu masyarakat demokratis. Oleh sebab itu, pendidikan dasar yang bebas (free basic education) harus dijadikan prioritas utama dalam membangun masyarakat Indonesia baru, yaitu masyarakat yang demokratis.
Perubahan dari pemerintahan yang sentralistis ke pemerintahan yang memberikan otonomi luas kepada daerah menuntut suatu persiapan. Lembaga-lembaga sosial yang ada harus dirombak dengan menggunakan paradigma baru. Perubahan paradigma kehidupan bermasyarakat tersebut memang tidak mudah dicapai. Selama bertahun-tahun paradigma lama yang berdasarkan kekuasaan telah mengakar dan membudaya. Karenanya, perubahan kearah masyarakat yang demokratis memerlukan pemimpin-pemimpin baru.
Pemimpin-pemimpin masa Orde Baru tentu sulit untuk serta merta mengubah dirinya dengan menggunakan paradigma baru. Pembangunan masyarakat demokrasi meminta suatu generasi pemimpin yang baru, yaitu seorang pemimpin demokratis, yang terbuka, dan bebas dari virus KKN. Sebab itu, masa transisi sekarang ini meminta sekurang-kurangnya satu generasi di dalam pembinaannya. Akan muncul pemimpin-pemimpin masyarakat yang menghayati nilai-nilai demokrasi, dan sosok pemimpin yang demikian hanya dihasilkan melalui sistem pendidikan dan penyelenggaraan pendidikan yang sesuai.          
   b.     Pengembangan “Social Capital”
Para ahli ekonomi seperti Amartya Sen, penenang hadian Nobel Ekonomi tahun 1998, menekankan kepada nilai-nilai demokrasi sebagai bentuk social capital  yang menjadi pemicu pertumbuhan ekonomi dan kehidupan yang lebih manusiawi. Demokrasi sebagai social capital hanya dapat dikembangkan melalui proses pendidikan yang menghormati nilai-nilai demokrasi tersebut. Suatu proses belajar yang tidak menghargai akan kebebasan berpikir kritis tidak mungkin menghidupkan nilai-nilai demokrasi sebagai social capital suatu bangsa.
Sistem pendidikan yang sentralistis yang mematikan kemampuan berinovasi tentunya tidak sesuai dengan penembangan suatu masyarakat demokrasi yang terbuka. Oleh sebab itu, desentralisasi pendidikan berarti lebih mendekatkan proses pendidikan kepada rakyat sebagai empunya pendidikan itu sendiri. Rakyat harus berpartisipasi di dalam pembentukan social capital tersebut. Ikut sertanya rakyat di dalam penyelenggaraan pendidikan dalam suatu masyarakat demokratis berarti pula rakyat ikut membnina lahirnya social capital dari suatu bangsa.
Selanjutnya para ahli seperti Fukuyama mengatakan bahwa social capital yang tidak kalah pentingnya dalam masyarakat demokratis adalah adanya rasa saling mempercayai (trust). Fukuyama memberi solusi kepada tesis Huntington yang mengatakan akan terjadi benturan-benturan kebudayaan manusia. Di dalam masyarakat dunia yang demokratis perlu ditumbuhkan sikap saling percaya, menghargai adanya perbedaan dan keyakinan akan adanya kesamaan-kesamaan terhadap nilai-nilai universal.
Peran pendidikan di dalam menumbuhkan keyakinan terhadap perlu adanya nilai-nilai universal seperti nilai-nilai persatuan bangsa adalah sangat besar. Di negara-negara maju seperti Masyarakat Bersama Eropa (European Union) sangat memperhatikan peranan pendidikan di dalam persatuan Eropa. Persatuan Eropa, menurut negarawannya, hanya dapat diwujudkan melalui proses pendidikan. Pendidikan dianggap sebagai sarana kohesi sosial (social cohesiveness).       
 c.      Pengembangan Daya Saing Bagsa.
Di dalam suatau masyarakat demokratis setiap anggotanya dituntut partisipasi optimal dalam mengembangkan kehidupan pribadi dan masyarakatnya. Di dalam kehidupan bersama tersebut diperlukan kemampuan daya saing tinggi di dalam kerja sama. Di dalam suatu masyarakat otoriter dan statis, daya saing tidak mempunyai tempat. Oleh karena itu, perkembangan masyarakat sangat lamban. Masyarakat bergerak dengan komando dan oleh sebab itu sikap masa bodoh dan menunggu merupakan ciri dari suatu masyarakat otoriter.
Daya saing di dalam suatu masyarakat bukanlah kemampuan untuk saling membunuh dan saling menyingkirkan satu dengan yang lain, tetapi dalam rangka kerja sama yang semakin lama semakin meningkat mutunya. Dunia terbuka, dunia yang telah menjadi kampung global (global village) menuntut kemampuan daya saing dari setiap individu, setiap masyarakat, bahkan setiap bangsa. Eksistensi suatu masyarakat dan bangsa hanya dapat terjamin apabila dia terus-menerus memperbaiki diri dan meningkatkan kemampuannya. Diantara faktor-faktor yang sangat menentukan daya saing tersebut adalah intelegensi, informasi, ide baru dan inovasi.  
Meskipun desentralisasi pendidikan merupakan sebuah keharusan, namun dalam realitas, pelaksanaanya terkesan suatu tindakan agak tergesa-gesa dan tidak siap. Hal ini bisa dilihat dari  pelaksanaan program desentralisasi ini di berbagai daerah. Bahwa Pelaksanaan desentralisasi pendidikan atau disebut otonomi pendidikan masih belum sepenuhnya berjalan sesuai dengan yang diharapkan,  hal dapat dilihat bahwa  pelaksanaan desentralisasi pendidikan di Indonesia belum mampu membawa peningkatan bagi pengembangan pendidikan di daerah. Dengan kata lain, keadaan pengembangan pendidikan di daerah belum menunjukkan perbedaan yang berararti, atau sama saja antara sebelum dan sesudah dilaksanakan desentralisasi pendidikan. Bahkan desentralisasi pendidikan dalam hal tertentu justru malah menimbulkan kesulitan baru dibandingkan dengan keadaan sebelumnya. Karena untuk melaksanakan desentralisasi pendidikan secara nasional di seluruh wilayah Indonesia tampaknya mengalami banyak kesulitan, karena sejumlah masalah dan kendala yang perlu diatasi. adapun kendala dalam pelaksanaan otonomi pendidikan di wilayah Indonesia adalah sebagai berikut:
 d.   Masalah desentralisasi manajemen kurikulum.
Seperti yang diketahui bahwa masyarakat Indonesia bersifat heterogen dengan berbagi macam kebudayaan , suku, sumber daya alam, dan bahkan sumber daya manusianya. Maka setiap daerah punya kesiapan dan kemampuan  yang berbeda beda dalam pelaksanaan desentralisasi pendidikan. Munculnya Masalah pengangguran bagi  para lulusan disebabkan  hubungan pendidikan selama ini diarahkan pada kurangnya kepercayaan pemerintah kepada daerah untuk menata sistem pendidikannya sesuai dengan perkondisian daerahnya..  Oleh karena itu desentralisasi kurikulum  menjadi alternatif yang harus dilakukan. Akan tetapi Pelaksanaan kurikulum muatan lokal yang saat ini diberlakukan memiliki persentase lebih kecil daripada kurikulum nasional.
Jika dilihat dari kurikulum sekolah  mulai dari kurikulum Sekolah dasar  (SD) sampai dengan Sekolah menengah atas  (SMA)  terlihat  kurikulum amat terstruktur dan sarat beban hal ini tentu menyebabkan proses pembelajaran di sekolah menjadi steril terhadap keadaan dan perubahan lingkungan fisik dan sosial yang berkembang dalam masyarakat. Akibatnya proses pendidikan menjadi tidak menarik dan kurang memupuk kreatifitas siswa utk belajar serta guru dan pengelola pendidikan dalam menyusun dan melaksnakan pembelajaran yang inovatif. Walaupum telah dilakukan desentralisasi  kurikulum dalam artian bahwa kurikulum yang dilaksanakan di sekolah-sekolah, baik didasarkan pada  jenjang dan jenis pendidikan telah diatur oleh pemerintah pusat.  
Dalam hal ini pemerintah daerah hanya bertugas untuk mengembangkan kurikulum. Terutama pada usaha mengembangkan kurikulum, unsur-unsur budaya dapat diperkenalkan kepada masyarakat melalui pelajaran di sekolah. Hanya saja, unsur-unsur yang terkandung dalam kurikulum nasional hanya berbasis Nasional, belum mengarah kepada kurikulum global. Selain itu, untuk penetapan standar pendidikan masih bersifat sentralisasi, karena di daerah tidak memiliki kewenangan untuk menetapkan standar dalam pendidikan, hanya sebatas oprasional dan penyesuaian.
Terkait dengan standar pendidikan Pemerintah melalui Undang-Undang Nomor. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU SISDIKNAS), telah memberikan pedoman bagi kita untuk memiliki suatu sistem pendidikan nasional yang bermutu, dalam pengertiannya yang dapat menjamin terpenuhi kebutuhan masyarakat akan sumber daya manusia yang berkualitas.
Berdasarkan hal itu untuk menciptakan pendidikan yang berkualitas dan selaras bagi semua siswa di daerah maka pemerintah menjadikan UN Sebagai gerbang standar bagi pelajar dalam tingkat satuan pendidikan sebagai syarat kelulusan. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 59 tahun 2011 telah ditetapkan kriteria kelulusan peserta didik dengan pembobotan 60% berasal dari nilai Ujian Sekolah/Madrasah (US/UM) dan 40% dari nilai rata-rata rapot. Hal ini kemudian menjadi sesuatu yang  menyeramkan serta sulit baik bagi siswa sebagai peserta maupun sekolah sebagai penyelenggara bagi siswa UN merupakan sesutu yang menakutkan. Dengan dilaksanakannya UNAS tahun 2003 mengundang kontroversi, tidak sedikit elemen masyarakat yang menolak dilakukan ujian secara nasional tersebut dengan alas an  kondisi obyektif  pendidikan dimasing masing daerah terdapat kesenjangan, pemerataan, fasilitas, jumlah guru , kualitas gutru, penyelenggaraan pendidikan, kondisi lingkungan dan sebagainya. Secara konseptual sebenarnya apa yang diinginkan oleh pemerintah untuk   meningkatkan kualitas dan standarisasi nasional adalah baik. Tapi hal tersebut tidak realistis.
Dalam UU Sisdiknas telah dijelaskan bahwa hak untuk mengevaluasi pendidikan adalah guru. Namun, ketika hak itu diambil alih secara paksa oleh pemerintah, guru hanya mampu menerima kebijakan pemerintah walaupun hal itu tidak diinginkan oleh guru. Bahkan,  ketika Ujian nasional dilaksanakan, guru tanpa sadar  mendukung program itu. Guru tidak kuasa lagi menolak segala sesuatu yang telah menjadi keputusan politik pemerintah.
Akibat dengan dilakukannya kebijakan tersebut  kepala daerah dinas provinsi daerah otonom berupaya bagaimana memperoleh nilai ujian yang melebih standar minimum yang ditetapkan, maka kemudian banyak daerah yang mencanangkan lulus UN 100% sebagai  target  pencapaian bidang pendidikan. Target yang ditetapkan oleh kepala daerah kemudian disosialisasikan oleh dinas pendidikan dan dibebankan kepada para kepala sekolah untuk pencapaiannya. Banyak kepala sekolah yang menyadari keterbatasan dan rendahnya kulitas pendidikan yang dimiliki sekolahnya, tetapi mereka tetap dituntut untuk memaksimalkan jumlah lulusan ujian nasional dari lembaga-lembaga pendidikan mereka. Hasilnya, berbagai macam carapun dilakukan. Contoh  hal yang menganggu proses pendidikan adalah  try-out yang dilakukan berulang-ulang dan pengurangan jumlah jam pelajaran non-UN.
Sementara cara lain  yang masih ditemukan dalam  proses ujian  nasional  terjadilah berbagai masalah seperti  terjadinya kecurangan pada setiap pelaksanaan UN. Mulai dari kebocoran soal, pemberian kunci jawaban hingga kerja sama di dalam kelas sewaktu ujian berlangsung. Ini dilakukan dikarenakan selain agar setiap siswa lulus juga untuk menjaga reputasi sekolah dimana siswanya lulus semua.  
Selain itu pula guru menempuh cara cara curang dimana para pendidik ini menjadi fokus hanya pada bagaimana cara agar siswa bisa lulus pada mata pelajaran yang diujikan di UN. Potensi siswa yang beragam pun menjadi terabaikan. Degradasi moral peserta dan penyelenggaraan ini benar benar  memprihatinkan banyak pihak yang masih memiliki nilai-nilai kebenaran dan kejujuran. UN bukan menjadi ujian yang melatih keterampilan dan pengetahuan siswa lagi, sudah menjadi tempat untuk dilakukannya tindakan kecurangan.
Melihat kondisi seperti ini pemerintah pusat melakukan respon dengan cara mengganti sistem pelaksanaan UN, mulai dari UN dua paket, lima paket, dan sekarang 20 paket. Perbaikan sistem ini sejatinya hanya bertujuan tunggal, meminimalisasi adanya contek-mencontek atau ketidakjujuran dalam UN. Namun tetap saja setiap tahun praktik kecurangan itu berlangsung dan bergantinya sistem pelaksanaan UN itu sekaligus mengindikasikan masih lemahnya sistem pendidikan di Indonesia.
Fenomena UN lainnya terjadi pada pelaksanaan UN tahun 2013 ini dimana terjadi hambatan pada distribusi soal yang mengakibatkan ditundanya pelaksanaan UN di 11 provinsi. Selain itu pula terjadi fenomena tertukarnya lembar soal, kurangnya lembar soal hingga boleh difotocopy dengan jumlahyang tak terbatas,sampai dengan beredarnya bocoran lembar kunci jawaban.
Orientasi nilai ujian nasional yang menjadi tujuan penyelenggaraan pendidikan daerah dan lembaga-lembaga pendidikan pada gilirannya menciderai bahkan merusak mental penyelenggara pendidikan dan terlebih parah lagi mental para siswa. Seolah prinsip menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan menjadi bagian dari proses pendidikan kita.
    e.  Masalah desentralisasi manajemen SDM.
Persoalan SDM merupakan salah satu tuntutan  pendidikan, dimana  tuntutan  SDM mengalami dinamisasi kualitas. Standar mutu dituntut setiap jenis pekerjaan sesuai dengan tuntutan kualitas  produk dan kualitas jasa yang  diharapkan  untuk memenuhi kepuasan hidup manusia. Sumber daya manusia merupakan pilar yang paling utama dalam melakukan implementasi desentralisasi pendidikan. Banyak kekhawatiran dalam bidang  kesiapan SDM ini, diantaranya belum  terpenuhinya lapangan kerja dengan kemampuan sumber daya yang ada. Sumber daya manusia yang kurang profesioanal akan menghambat pelaksanaan sistem pendidikan.  
Sejak dilaksanakan otonomi daerah, di berbagai daerah otonom Penataan SDM yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan dan keahliannya menyebabkan pelaksanaan pendidikan tidak profesional. Banyak tenaga kependidikan yang latar belakang pendidikannya  tidak  relevan ditempatkan di dunia kerja yang ditekuninya.  Pengelolaan SDM di daerah, provinsi maupun kabupaten dan  kota sangat memprihatinkan. Pimpinan daerah terkadang menempatkan SDM secara serampangan dan jarang memperhatikan aspek professionalisme. Koordinasi lembaga juga  terhambat karena tidak ada hubungan secara hirarkis antara lembaga yang ada di kabupaten dengan provinsi. Akibatnya pelaksanaan pendidikan tidak professional. Dan hal ini akan berpengaruh pada mutu pendidikan.
 Ketidaksiapan juga dapat dilihat dari ketersediaan fasilitas pendidikan di daerah-daerah. Daerah-daerah baru yang merupakan pemekaran dari provinsi atau kabupaten yang sudah lebih dulu ada seringkali masih belum memiliki perangkat, fasilitas dan sarana pendidikan yang memadai. Efek lebih lanjut dari ketidak siapan daerah dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan adalah adanya kesenjangan prestasi belajar siswa dari berbagai daerah. Sudah dapat dipastikan bahwa daerah atau kota yang memiliki pendapatan daerah yang lebih besar, fasilitas,sarana dan parasarana pendidikan yang lebih lengkap, serta sumberdaya manusia yang lebih baik mampu menyelenggarakan pendidikan yang lebih berkualitas serta hasil pendidikan yang lebih kompeten.
Sementara sebaliknya daerah-daerah yang memiliki sumber anggaran yang lebih kecil, fasiltas dan sarana yang belum lengkap serta sumberdaya manusia yang belum maksimal, tentu akan sulit mengejar ketertinggalan. Daerah-daerah pada kelompok kedua inilah yang dapat dikatakan kurang siap untuk menyelenggarakan pendidikan secara desentralistik.
Adapun daerah yang merespon desentralisasi pendidikan ini dengan berbagai program yang bertujuan untuk memajukan pendidikan di daerahnya, baik dalam bentuk peningkatan kesejahteraan guru, penyediaan sarana dan prasarana inti dan penunjang yang memadai, pembentukan unit-unit penunjang penyelenggaraan pendidikan, dan sebagainya. Namun demikian, tidak sedikit pula daerah yang melihat pemberian kewenangan ini sebagai peluang untuk berbuat yang menguntungkan bagi pribadi atau kelompoknya. Dari sinilah muncul kemungkinan terjadinya penyalahgunaan anggaran pendidikan, keberpihakan pada pihak-pihak tertentu yang tidak berorientasi pada kualitas, penerimaan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan yang kurang selektif, dan pembuatan program-program yang yang tidak secara substansial menyentuh kebutuhan pendidikan. Meskipun kecurigaan ini perlu dibuktikan secara fakta dan hukum, namun fenomena yang sering ditutup-tutupi ini seolah telah menjadi rahasia umum di berbagai daerah.
f.      Masalah desentralisasi pembiayaan.
Persoalan dana merupakan persoalan yg penting dalam perbaikan dan pembangunan sistem pendidikan di Indonesia. Dana merupakan unsur yang sangat menentukan  dalam keberhasilan penyelenggaraan pendidikan. Selama ini dikeluhkan bahwa mutu pendidikan rendah karena kurang mencukupinya dana pendidikan. Anggaran pendidikan masih terlalu rendah.
Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sudah diamanatkan tentang pentingnya alokasi anggaran dana untuk pembiayaan dan pembangunan pendidikan ini. Dalam pasal 49 ayat (1) dikemukakan bahwa “Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)  pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Walaupun sudah diamanatkan  seperti itu akan tetapi Dengan berbagai macam alasan sampai saat ini masih belum bisa dilaksanakan sementara para eksekutif dan legislatif masih sibuk berdebat sehingga menimbulkan kesan bahwa pendidikan merupakan bagian dari pembangunan yang belum diprioritaskan. Dana masyarakat yang selama ini digunakan untuk membiayai pendidikan belum optimal teralokasikan secara proporsional sesuai dengan kemampuan daerah. Terserapnya dan masyarakat terpusat membuat daerah menjadi semakin tidak berdaya membiayai penyelenggaraan pendidikan. Sarana dan prasarana pendidikan sangat tergantung pandangannya di pemerintah pusat.
Sementara itu dalam konteks pembiayaan dengan diberlakukannya otonomi daerah maka anggaran pendidikan  dialokasikan pada APBD. dari sini terlihat jelas penurunan biaya penyelenggaraan pendidikan, di samping kurang  pemahaman kepala daerah terhadap pendidikan masih terbatas. Umumnya di daerah para pemimpin daerah, DPRD dan pengambil kebijakan yang lain bila berbicara tentang pendidikan semua sepakat bahwa pendidikan adalah suatu yang penting dan harus menjadi prioritas pembangunan. Namun ketika sampai pada tahap implementasi dan pengambilan kebijakan terutama menyangkut penganggaran pendidikan di APBD semuanya tidak ada lagu yang mampu berbuat banyak.bagi pimpinan daerah pendidikan mungkin saja merupakan prioritas keberapa setelah mobil dinas, rumah dinas. proyek fisik  dan lain sebagainya.
g.     Masalah desentralisasi manajemen sarana dan prasarana.
Sarana dan Prasarana Penetapan standar sarana dan prasarana ini mengikuti ketetapan dari Pemerintah pusat. Pemerintah provinsi hanya berlaku sebagai  pengawasan terhadap pemenuhan standar nasional sarana dan prasarana  pendidikan menengah. Untuk pengawasan pemenuhan standar nasional sarana dan prasarana pendidikan dasar, pendidikan menengah dan nonformal itu merupakan tanggungjawab dari Pemerintah Kabupaten/Kota. Meskipun demikian, tidak semua pemerintah Kabupaten/Kota mampu memenuhi stnadar sarana dan prasarana.
Penyediaan atau peningkatan sarana dan prasarana pendidikan perlu untuk ditingkatkan untuk  meningkatkan akses terhadap pendidikan. Persoalan akses tentu tidak mengganggu penyelenggaraan pendidikan di kota-kota yang prasarana transportasinya memadai. Namun ia menjadi masalah besar di daerah-daerah yang memiliki wilayah yang cukup luas, banyak masyarakat yang tinggal di daerah yang sulit dijangkau, dan prasarana transportasi yang kurang memadai. Persoalan geografis dan fasilitas transportasi sering menjadi kendala utama pemerataan akses pendidikan. Pada gilirannya persoalan akses ini juga mempengaruhi tingkat partisipasi pendidikan. Oleh karena itu, perlu dipikirkan berbagai alternatif bagi daerah-daerah yang memilikimasalah dengan keterbatasan akses, karena berbagai kendala di atas. Sumber daya, baik manusia maupun benda, juga perlu mendapatkan perhatian serius.
Banyak daerah yang melakukan otonomi pendidikan tidak didukung oleh sumber daya pendidikan yang memadai. Keterbatasan sumber daya ini terjadi sebagai akibat dari tidak meratanya penyebaran penduduk, tidak seimbangnya penyebaran ekonomi dan tidak meratanya pembangunan. Akibatnya sumber daya yang baik terkonsentrasi di kota-kota besar.
h.         Persoalan desentralisasi bidang perundang-undangan.
Pengaturan otonomi daerah dalam bidang pendidikan secara tegas telah dinyatakan dalam PP Nomor. 25 Tahun 2000 yang mengatur pembagian kewenangan pemerintah pusat dan provinsi. Semua urusan pendidikan diluar kewenanagn pemerintah pusat dan provinsi tersebut sepenuhnya menjadi wewnang pemerintah kabupaten/kota. Ini berarti bahwa tugas dan beban pemerintah daerah kabupaten/kota dalam menangani layanan pendidikan amat besar dan berat, terutama bagi daerah yang kemampuan diri (capacity building) dan sumber daya pendidikannya kurang.
 Otonomi daerah bidang pendidikan bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota tapi juga dibebankan pada lembaga pendidikan (sekolah, perguruan tinggi, kursus dsbnya) sebagai penyelenggara pendidikan terdepan dan dikontrol oleh stakeholder pendidikan (orang tua, tokoh masyarakat, yayasa pendidikan, LSM, DPRD dan sebagainya yang mempunyai perhatian bidang pendidikan). 
Dalam konteks otonomi  daerah, Dengan adanya tantangan pendidikan maka perlu dikaji strategi untuk mengembangkan pendidikan yang lebih memberikan harapan dimasa mendatang sesuai dengan misi pendidikan nasional yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan merespon perkembangan global pada abad XXI. Maka arah kebijakan pendidikan nasional ke depan tetap mengacu pada tiga hal, yaitu:
1). Perluasan dan pemerataan layanan pendidikan yang bermutu
2). Peningkatan mutu pembelajarandan lembaga pendidian
3). Perbaikan kapasitas dan manajemen pendidikan.
Di daerah otonomi akses, kualitas pendidikan  dan pemerataan pendidikan harus ditingkatkan  oki daerah harus meningkatkan sumber daya  daerah yang ada untuk meningkatkan mutu pendidikannya.
i.          Masalah pembinaan dan koordinasi.
UU Nomor 32 Tahun 2004 pada dasarnya mengamanatkan bahwa dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, pemerintah berkewajiban untuk melakukan permbinaan agar permasalahan yang muncul dapat diminimalisir. Di samping pembinan koordinasi juga perlu untuk dilakukan, untuk menghindari terjadinya tumpang tindih program. Sayangnya dalam pelaksanaan otonomi daerah pembinaan dan koordinasi sulit dilakuakkn. Hal ini disebabkan adanya gengsi antar pejabat. Meskipun desentralisasi sudah ada dalam peraturan regulasi otonoim daerah,  tetapi dalam kelembagaan dan sikap akademik guru, kepala sekolah dan jajaran dinas pendidikan sebagai atasannya belum sinkron. Pemerintah daerah belum menunjukkan penampilan dan cara kerja yang jelas, dan yang mereka lakukan masih pada pemanfaatan dana, bukan pada “academic activity”.
Berdasarkan pemaparan diatas maka penulis menganalisa bahwa pelaksanaan otonomi pendidikan  masih belum sempurna karena masih banyak mengalami hambatan. Hal ini dapat dilihat bahwa kualitas sumber daya manusia (SDM) di dunia pendidikan kita yaitu sekolah masih rendah terutama di daerah pedesaan atau daerah terpencil. Selain itu kita dapat melihat kualitas guru antara sekolah yang satu dengan sekolah yang lain berbeda, demikian pula antara guru yang ada di masing-masing daerah juga tidak sama, sehingga hal ini berpengaruh pada  pelaksanaan otonomi pendidikan di masing-masing sekolah.
 Adanya desentralisasi pendidikan seakan akan pemerintah telah memberikan otonomi kepada sekolah  padahal jika dilihat dan diamati sebagian besar sekolah di daerah-daerah khususnya daerah terpencil  dan masyarakat belum siap untuk menerima hal itu. Selain rendahnya SDM, otonomi pendidikan juga mengalami hambatan disebabkan karena   peran serta masyarakat khususnya orang tua sangat minim. Selama ini partisipasi masyarakat hanya lebih banyak sifatnya berupa dukungan dana bukan  pada proses pendidikan.
Berkaitan dengan proses pendidikan tersebut, sekolah tidak punya beban untuk mempertanggung jawabkan hasil pelaksanaan pendidikan kepada masyarakat, khususnya kepada orang tua siswa, sebagai salah satu pihak utama yang berkepentingan dengan pendidikan.  Di samping itu  banyak orang tua siswa dan masyarakat di pedesaan tidak mau terlibat  dalam hal komite sekolah/madrasah. Masyarakat biasanya berpikir bahwa mereka menyerahkan sepenuhnya  urusan pendidikan kepada pihak sekolah. 
Di samping dua faktor penghambat di atas penulis juga menganalisa bahwa tidak sempurnanya pelaksanaan otonomi pendidikan disebabkan karena sarana dan prasarana pendukung pendidikan masih sangat terbatas di sekolah. Mulai dari bangunan sekolah yang kurang layak dipakai bahkan hal yang paling mendasar yaitu buku-buku pelajaran juga kurang mencukupi. Umumnya hal ini dialami oleh sekolah-sekolah  swasta seperti di lingkungan madrasah atau pondok pesantren ataupun sekolah negeri yang berada di pedesaan dan daerah terpencil. Disatu sisi kita memang dihadapkan pada keharusan untuk meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan sementara jika kita melihat disisi lain kita harus mempersiapkan sarana dan prsarana yang masih kurang. Karena kurangnya sarana dan prasarana dalam proses pendidikan tentu akan berpengaruh terhadap pencapaian tujuan dalam rangka meningkatkan mutu atau kualitas pendidikan.
Di lembaga pendidikan baik negeri ataupun swasta memiliki kelemahan dalam hal manajemen sekolah, karena jika diamati manajemen/pengelolaan  sekolah  lebih banyak ditentukan oleh atasan bisa kepala sekolah/madrasah. Pelaksanaan manajemen dibanyak sekolah belum maksimal karena terkadang ada sekolah yang atasannya masih bersifat otoriter. Selain itu sikap mental para pengelola pendidikan, baik yang memimpin ataupun yang dipimpin terkadang bergerak  karena adanya perintah atasan, bukan karena rasa tanggung jawab. Kepala sekolah terkadang  kurang memberikan kepercayaan, tidak memberikan kebebasan berinisiatif, sehingga dalam hal mutu pendidikan terkadang tidak ada tindak lanjut dari evaluasi program. Hampir semua program di monitor dan dievaluasi dengan baik, namun tindak lanjutnya tidak dilaksanakan.akibatnya pendidikan selanjutnya tidak ditandai oleh peningkatan mutu.
Dalam hal yang lebih luas lagi terkadang  para Bupati/ Walikota sebagai penguasa di daerah juga kurang memperhatikan kondisi pendidikan di daerahnya sehingga anggaran pendidikan belum menjadi perioritas utama.
Adapun solusi untuk mengatasi hambatan hambatan diatas yaitu dengan cara menyiapkan SDM yang berkualitas  karena kualitas SDM sangat menunjang terhadap berhasilnya proses  dalam bidang apapun. Termasuk dalam proses pendidikan. Karena SDM merupakan komponen yang sangat penting dalam proses pendidikan dan SDM yang berkualitas tentu akan melahirkan siswa yang berkualitas pula. Selain itu, sekolah harus memperhatikan output yang dihasilkan apa dan bagaimana proses dilakukan, sehingga output yang dihasilkan berkualitas. Jangan hanya memikirkan inputnya saja, karena bila input dan proses pembelajaran juga lemah tidak ditunjang oleh komponen komponen pendidikan yang berkualitas, maka output yang dihasilkan juga akan rendah. Selain itu sekolah harus memberdayakan komite sekolah  karena bagaimanapun komite sekolah adalah mitra sekolah yang punya tanggung jawab untuk meningkatkan kualitas sekolah, dan perlu diajak untuk memberikan solusi terhadap permasalahan sekolah.
Selain itu pihak sekolah, masyarakat dan orang tua harus bekerja sama dan membangun komunikasi yang harmonis di dalam mendukung proses pembelajaran. Karena tanpa komunikasi yang komunikatif maka kita akan sulit mencapai hasil sebagaimana yang disebutkan dalam SISDIKNAS. Ketiga komponen ini harus mampu bersinergi dan bekerja sama yang baik dalam mewujudkan siswa yang berkualitas. Menjalin komunikasi dan kerja sama antara pihak sekolah dengan masyarakat khususnya orang tua siswa. Karena orang tua dan masyarakat berperan dalam memajukan pendidikan di sekolah. Untuk itu hubungan sekolah dan masyarakat merupakan sarana yang sangat dibutuhkan dalam meningkatkan mutu pendidikan. Sekolah merupakan salah satu lembaga pendidikan yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat dan lingkungan sekitarnya, begitu juga sebaliknya .karena keduanya memiliki kepentingan yang sama.
Sekolah merupakan lembaga formal yang diserahi tugas untuk mendidik melatih dan membimbing generasi muda bagi peranannya di masa depan. Akan tetapi seharusnya masyarakat tidak menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab pendidikan kepada sekolah. Melainkan masyarakat harus juga turut serta dan aktif dalam pendidikan. Kedua duanya harus menjalankan fungsi dan perannya dalam pendidikan jadi hubungan antara sekolah dan masyarakat sangat besar pengaruhnya  terhadap keberhasilan otonomi pendidikan. Salah satu cara untuk mencapai hubungan tersebut  antara sekolah dan masyarakat dibina suatu hubungan dan komunikasi yang harmonis.
Terciptanya hubungan sekolah dan masyarakat dengan baik akan berpengaruh dalam berhasilnya otonomi pendidikan.jika sekolah mampu memperhatikan outputnya, memberikan wewenang sepenuhnya kepada kepala sekolah untuk memobilisir semua komponen yang ada di bawahnya, dengan dilengkapi fasilitas, sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam proses pendidikan, memberdayakan komite sekolah serta menjalin komunikasi yang baik dengan masyarakat khususnya orang tua siswa maka proses pelaksanaan otonomi pendidikan  disekolah tidak akan menghadapi permasalahan dan hambatan.
Solusi berikutnya yaitu membangun dan menyediakan sarana dan prasarana yang memadai. Karena sarana dan prasarana ini mendukung proses pendidikan untuk menghasilkan output yang berkualitas. Dalam kaitannya dengan hal ini maka sekolah harus perlu untuk membangun atau merenovasi ruang belajar yang layak, selain itu sekolah juga harus membangun laboratorium beserta perangkat pendukung yang dibutuhkan , membangun perpustakaan beserta perangkatnya, seperti toilet, WC, lapangan olah raga dan sebagainya.
Dalam hal manajemen sekolah maka sekolah harus meningkatkan manajemen pendidikan sekolah. Suatu pendidikan disebut berkualitas dan segi proses jika proses belajar mengajar berlangsung secara efektif, dan peserta didik mengalami pembelajaran yang bermakna, artinya siswa  menguasai  materi dan hasil pendidikan sesuai dengan kebutuhan siswa  dalam kehidupannya serta hasil pendidikan yang didapat oleh siswa sesuai dengan tuntutan dunia kerja. 
Adanya kondisi dari setiap daerah tidak memiliki kekuatan yang sama dalam penyelenggaraan pendidikan disebabkan perbedaan sarana, prasarana dan dana yang dimiliki. Hal ini mengakibatkan akan terjadinya kesenjangan antar daerah, sehingga pemerintah perlu membuat aturan dalam penentuan standar mutu pendidikan nasional dengan memperhatikan kondisi perkembangan kemandirian masing-masing daerah.  


C.      KESIMPULAN.
1.     Desentralisasi dan otonomi pendidikan  ialah memberikan kesempatan kepada rakyat untuk mengambil keputusan di lapangan mengenai bentuk, proses, keberadaan lembaga pendidikan yang sesuai dengan tuntutan kehidupannya. Dengan kata lain desentralisasi dan otonomi pendidikan bertujuan memberdayakan rakyat.
2.     Dasar hukum otonomi pendidikan adalah   undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah secara resmi mengakhiri sistem pemerintahan sentralistik yang memberikan kekuasaan teramat besar kepada pemimpin negara. Sebagai tindak lanjut dari UU tersebut dikeluarkan  Peraturan pemerintah no. 25 tahun 2000 tentang pembagian kewenangan provinsi sebagai daerah otonom. Terkait dengan masalah pendidikan pemerintah merumuskan dan menetapkan dan mengimplementasikan kebijakan berupa UU no 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional sebagai dasar hukum bagi para pejabat pemerintahan yang diberi tugas dalam melaksanakan pendidikan di Indonesia. Kelanjutan dari Peraturan Pemerintah tersebut dikeluarkan Undang- -Undang No. 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah, yang kemudian direvisi dengan UU No. 12 tahun 2008 yang juga mengatur Pemerintahan Daerah.
3.     Konsep otonomi pendidikan berdasarkan UU sisdiknas,  daerah otonomi harus memiliki visi dan misi pendidikan yang jelas dan jauh ke depan dengan melakukan pengkajian yang mendalam dan meluas tentang perkembangan penduduk dan masyarakat untuk memperoleh konstruk masyarakat di masa depan dan tindak lanjutnya, merancang sistem pendidikan yang sesuai dengan karakteristik budaya bangsa Indonesia di masa mendatang. Dalam otonomi/desentralisasi pendidikan terjadi pelimpahan wewenang dan tanggung jawab kepada daerah hal ini membawa konsekwensi terhadap pembiayaan guna mendukung proses desentralisasi sebagaimana termuat dalam pasal 12 ayat 1 UU no. 32 tahun 2004. Sejalan dengan adanya otonomi pendidikan tersebut maka tanggung jawab pemerintah daerah semakin meningkat dan luas, termasuk dalam manajemen pendidikan.
4.     Pelaksanaan otonomi pendidikan di Indonesia selama ini   mengalami banyak hambatan dan permasalahan adapun permasalahan tersebut diantaranya masalah peningkatan mutu pendidikan, masalah desentralisasi manajemen kurikulum, masalah desentralisasi manajemen SDM, masalah desentralisasi pembiayaan, masalah desentralisasi manajemen sarana dan prasarana, persoalan desentralisasi bidang perundang-undangan dan Masalah pembinaan dan koordinasi.


 



[1] Hasbullah, Otonomi Pendidikan; Kebijakan Otonomi Daerah Dan Implikasinya Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), h. 7.
[2]  Made, Pinarta, Otonomi Pendidikan (Kebijakan Otonomi Daerah Dan Implikasinya Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan), (Jakarta: Divisi Buku Perguruan Tinggi PT. Raja Grafindo Persada. 2006), h. 204.
[3] Nurhayati Djamas, Dkk,.Konsep Dasar Manajemen Madrasah Mandiri, (Jakarta: Puslitbang Pendidikan Agama Dan Keagamaan, 2005), h.8-9.
[4] Hasbullah,  Kebijakan Pendidikan…, h. 173.
[5] E Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah,  (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), h.194-214.
[6] Sam M. Chan,  Tuti T. Sam, Analisis Swot Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah,(Jakarta:Raja Grafindo Persada , 2011), h. 4-6.
[7] Hasbullah, Otonomi Pendidikan: Kebijakan Otonomi Daerah Dan Implikasinya Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan, h. 56.
[8]  H. A. R Tilaar. Membenahi Pendidikan Nasional,(Jakarta: Rineka Cipta, 2002), h. 20.