Sabtu, 06 Desember 2014

Nalar arab bayani, burhani dan irfani

MAKALAH
PENDEKATAN KAJIAN ISLAM

EPISTEMOLOGI KEILMUAN ISLAM
BAYANI, BURHANI DAN IRFANI
 (Diajukan Sebagai Tugas Individu Pada Mata Kuliah Pendekatan Kajian Islam)

Dosen Pengampu
Dr. Suprapto, MA
 











 Zahraini
Nim. 154141036


PASCA SARJANA
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MATARAM
TAHUN AKADEMIK 2014/2015




BAB I
PENDAHULUAN

Ilmu pengetahuan dan teknologi yang hingga saat ini menjadi kunci yang paling mendasar dari kemajuan yang diraih umat manusia, tentunya tidak datang begitu saja tanpa ada sebuah dinamika atau diskursus ilmiah. Proses untuk mendapatkan ilmu pengetahuan itulah lazim dikenal dengan istilah epistemologis.
Lebih lanjut Ahmad Tafsir mengungkapkan bahwa Epistemologi membicarakan sumber ilmu pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, epistemologis ini menempati posisi yang sangat strategis, karena ia membicarakan tentang cara untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Mengetahui cara yang benar dalam mendapatkan ilmu pengetahuan berkaitan erat dengan  hasil yang ingin dicapai yaitu berupa ilmu pengetahuan. Pada kelanjutannya kepiawaian dalam menentukan epistemologis, akan sangat berpengaruh pada warna atau jenis ilmu pengetahuan yang dihasilkan.
Sejarah telah mencatat bahwa peradaban Islam pernah menjadi kiblat ilmu pengetahuan dunia sekitar abad ke-7 sampai abad ke-15. Setelah itu, masa keemasan itu mulai melayu, statis, bahkan mundur hingga abad ke-21 ini. Hal itu terjadi, karena Islam dalam  kajian pemikirannya paling tidak menggunakan beberapa aliran besar dalam kaitannya dengan teori pengetahuan (epistemologi). Setidaknya ada tiga model sistem berpikir dalam Islam, yakni bayani, irfani dan burhani yang masing-masing mempunyai pandangan yang berbeda tentang pengetahuan.
Selain sebagai instrumen untuk mencari kebenaran, ketiga epistemologi tersebut juga bisa digunakan sebagai sarana identifikasi cara berfikir seseorang. Seorang filosof dengan corak berfikir burhani akan menjawab bahwa sumber kebenaran itu dari akal atau panca indera. Dengan kedua sarana ini manusia memunculkan dua dikotomi antara apa yang disebut rasional dan irrasional. Rasional adalah sebuah kebenaran, sebaliknya irrasional adalah sebuah kesalahan. Selanjutnya orang yang memiliki corak berfikir bayani akan menjawab bahwa sumber kebenaran itu dari teks. Rasio tidak memiliki tempat dalam pembacaan mereka terhadap kebenaran. Ketercukupan golongan ini terhadap teks memasukkan mereka pada golongan fundamental literalis. Sedangkan orang yang memiliki corak berfikir irfani akan menjawab bahwa sumber kebenaran itu dari wahyu, ilham, wangsit dan sejenisnya. Pola berfikir demikian akan membangun sebuah struktur masyarakat yang memiliki hirarki atas bawah. Untuk lebih memahami mengenai bayani, Burhani dan Irfani penulis akan menjelaskannya dalam  makalah ini.Terkait dengan hal diatas maka rumusan masalah yang diangkat dalam hal ini adalah:
1. Apa definisi  epistemologi, epistemologi bayani, burhani dan irfani?
2. Bagaimana metode berfikir bayani, burhani dan irfani?
3. Apakah keunggulan dan kelemahan  metode berfikir bayani, burhani dan irfani?



BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi epistemologi, epistemologi bayani, burhani dan irfani.
1. Definisi epistemologi
Secara etimologi kata epistemologi berasal dari bahasa yunani yaitu episteme dan logos. Episteme berarti pengetahuan sedangkan logos berarti teori. Jadi epistemologi adalah sebuah teori tentang pengetahuan, atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan Theory of Knowledge.
Secara terminologi, Dagobert D. Runes dalam bukunya, Dictionary of Philoshopy, yang dikutip Armai Arief, mengatakan bahwa  epistemologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki tentang keaslian pengertian, struktur, mode dan validasi pengetahuan. Pendapat lain dikemukakan oleh D.W. Hamlyan, sebagaimana yang dikutip Mujamil, yang mendefinisikan epistemologi sebagai cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, dasar dan pengandaian-pengandaiannya, serta secara umum hal itu dapat diandalkan sebagai penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan. Dengan demikian maka epistemologi adalah sebuah ilmu yang mempelajari hal-hal yang bersangkutan dengan pengetahuan dan dipelajari secara substantif. Oleh karena itu, epistemologi bersangkutan dengan masalah-masalah:
a.  Filsafat, sebagai cabang ilmu dalam mencari hakikat dan kebenaran pengetahuan.
b.  Metode, memliliki tujuan untuk mengantarkan manusia mencapai pengetahuan.
c.   Sistem, bertujuan memperoleh realitas kebenaran pengetahuan.
Epistemologi atau filsafat pengetahuan pada dasarnya juga merupakan suatu upaya secara rasional untuk menimbang dan menentukan nilai kognitif pengalaman manusia dalam interaksinya dengan diri, interaksi dengan lingkungan sosial, dan juga interaksinya dengam alam sekitarnya. Oleh karena itu, epistemologi juga disebut sebagai suatu disiplin yang bersifat evaluatif, normatif, dan kritis. Evaluatif  berarti menilai. Ia menilai apakah suatu kenyakinan, sikap, pernyataan pendapat, dan teori pengetahuan dapat dibenarkan, dijamin kebenarannya, atau memiliki dasar yang dapat  dipertanggung jawabkan secara nalar. Normatif berarti menentukan norma atau tolak ukur. Dalam hal ini adalah tolak ukur kenalaran bagi kebenaran pengetahuan.
Epistemologi sebagai cabang ilmu filsafat tidak cukup hanya memberi deskripsi atau paparan tentang bagaimana proses manusia mengetahui itu terjadi, tetapi perlu juga membuat penentuan mana yang betul dan mana yang salah  berdasarkan norma empirik. Sedangkan kritis berarti banyak mempertanyakan dan menguji kenalaran, cara maupun hasil kegiatan manusia mengetahui.
2. Definisi Epistemologi Bayani.
Kata bayani berasal dari bahasa Arab yaitu al bayani yang secara harfiah bermakna sesuatu yang jauh atau sesuatu yang terbuka. Adapun secara terminologi al bayan adalah ilmu baru yang dapat menjelaskan sesuatu atau ilmu yang  dapat mengeluarkan sesuatu dari kondisi samar kepada kondisi jelas.
Dalam kajian Islam epistemologi bayani adalah  pendekatan dengan cara menganalisis teks. Maka sumber epistemologi bayani adalah teks. Sumber teks dalam studi Islam dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni   teks nash (al-Qur`an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW) dan teks non-nash berupa karya para ulama. Fungsi akal dalam hal ini hanya sebagai pengawal makna yang terkandung di dalamnya yang digali lewat inferensi (istidlal).
Oleh karena itu,  secara langsung bayani adalah memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran Namun secara tidak langsung bayani berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. Meski demikian hal ini tidak berarti akal  bisa bebas menentukan makna dan maksudnya. Tetapi tetap harus bersandar pada teks. Sehingga dalam bayani, akal tidak mampu memberikan pengetahuan kecuali disandarkan pada teks. Dalam perspektif keagamaan, sasaran bidik metode bayani adalah aspek eksoterik (syari’at).
3.  Definisi Epistemologi Burhani.
Dalam bahasa Arab, al-burhan berarti argument (al-hujjah) yang jelas (al-bayyinah; clear) dan distinc (al-fashl), yang dalam bahasa inggris adalah demonstration, yang mempunyai akar bahasa Latin: demonstration (berarti member isyarat, sifat, keterangan, dan penjelasan). Dalam perspektif logika (al-mantiq), burhani adalah aktivitas berpikir untuk menetapkan kebenaran suatu premis melalui metode penyimpulan (al-istintaj), dengan menghubungkan premis tersebut dengan premis yang lain yang oleh nalar dibenarkan atau telah terbukti kebenarannya (badlihiyyah). Sedang dalam pengertian umum, burhani adalah aktivitas nalar yang menetapkan kebenaran suatu premis.
Istilah burhani yang mempunyai akar pemikiran dalam filsafat Aristoteles ini, digunakan oleh al-Jabiri sebagai sebutan terhadap sebuah system pengetahuan (nidlam ma’rifi) yang menggunakan metode tersendiri di dalam pemikiran dan memiliki pandangan dunia tertentu, tanpa bersandar kepada otoritas pengetahuan lain.
Burhani, baik sebagai metodologi maupun sebagai pandangan dunia, lahir dalam alam pikiran Yunani, tepatnya dibawa oleh Aristoteles yang kemudian terbahas secara sistematis dalam karyanya Organon, meskipun terminology yang digunakan berbeda. Aristoteles menyebutkan dengan metode analitis (tahlili) yakni metode yang menguraikan pengetahuan sampai ditemukan dasar dan asal-usulnya, sedangkan muridnya sekaligus komentator utamanya yang bernama Alexander Aphrodisi memakai istilah logika (mantiq), dan ketika masuk ke dunia Arab Islam berganti nama menjadi burhani.

4. Definisi epistemologi irfani
Irfani merupakan bahasa arab yang memiliki dua makna asli yaitu sesuatu yang berurutan yang sambung satu sama lain dan bermakna diam dan tenang. Namun secara harfiah al irfan adalah  mengetahui sesuatu dengan berfikir dan mengkaji secara dalam. Dengan demikian al irfan lebih khusus dari pada al-‘ilm. Secara terminologi irfani adalah pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakekat oleh tuhan kepada hambanya (al-kasyf) setelah melalui riyadah.  Contoh kongkrit dari pendekatan irfani lainnya adalah falsafah isyraqi yang memandang pengetahuan diskursif (al-hikmah al-batiniah) harus dipadu secara kreatif harmonis dengan pengetahuan intuitif (al-hikmah al-zawqiyah).
Dengan pemaduan tersebut pengetahuan yang diperoleh menjadi pengetahuan yang mencerahkan bahkan akan mencapai al-hikmah al-haqiqiyah. Pengalaman bathin Rasulullah SAW dalam menerima wahyu al-Qur’an merupakan contoh kongkrit dari pengetahuan irfani.
Dapat dikatakan meski pengetahuan irfani bersifat subyektif, namun semua orang dapat merasakan kebenarannya. Artinya setiap orang dapat melakukan dengan tingkatan dan kadarnya sendiri sendiri, maka validitas kebenarannya bersifat intersubyektif dan peran akal bersifat partisipatif.

B. Metode berfikir  Bayani, Burhani dan Irfani.
1. Metode  berfikir  bayani.
Untuk mendapatkan pengetahuan, epistemologi bayani menempuh dua cara yaitu pertama berpegang pada redaksi (lapazh) teks  dengan menggunakan kaidah bahasa Arab seperti nahwu dan sharaf sebagai alat analisa. Kedua, Menggunakan metode qiyas  (analogi) dan inilah prinsip utama epistemologi bayani. Dalam kaidah ushul fiqh, qiyas diartikan sebagai  memberikan keputusan hukum suatu masalah berdasarkan masalah lain yang telah ada kepastian hukumnya dalam teks, karena adanya kesamaan illah.
Ada beberapa hal yang harus dipenuhi dalam melakukan qiyas, yaitu:
a. Adanya al ashl yakni nash suci yang memberikan hukum dan dipakai sebagai ukuran.
b. Al-Far yaitu sesuatu yang tidak ada hukumnya dalam nash.
c. Hukum al-ashl yaitu ketetapan  hukum yang diberikan oleh ashl.
d. Illah yaitu keadaan tertentu yang dipakai sebagai dasar penetapan hukum ashl.
                                  Contoh qiyas adalah soal hukum meminum arak dari kurma. Arak dari perasan kurma disebut  far` (cabang) karena tidak ada ketentuan hukumnya dalam nash, dan ia akan diqiyaskan pada khamr.   Khamr adalah ashl (pokok) sebab terdapat dalam teks (nash) dan hukumnya haram, alasannya (illah) karena memabukkan. Hasilnya  arak adalah haram karena ada persamaan antara arak dan khamr  yakni sama-sama memabukkan.
Menurut Al-Jabiri, metode qiyas sebagai cara mendapatkan pengetahuan dalam epistemologi bayani tersebut digunakan dalam tiga aspek, yaitu:
a. Qiyas jail mempunyai persoalan hukum yang kuat dibanding  ashl.
b. Qiyas fi makna an nash dimana ashl dan far memiliki derajat hukum yang sama.
c. Qiyas al kahfi dimana illat ashl tidak diketahui secara jelas dan hanya menurut perkiraan mujtahid.
Pendekatan bayani meliputi 1. Origin (sumber) yaitu nash/ teks/wahyu (otoritas teks dan otoritas salaf).  2. Metode (proses dan prosdur) yaitu ijtihad dan qiyas.  3. Approach yaitu lughawiyah (bahasa).  4. Theoretical framework (kerangka teori) yaitu al ashl al-far dan al- lafz al ma’na. 5. Fungsi dan peran meliputi akal sebagai pengekang/pengatur hawa nafsu justifikatif  refetitif  ihqlidiydan  al-aql al-diniy. 6. Types of argument yaitu dialektik dan pengaruh pola logika stoia (tolak ukur bukan logika Aristoteles). 7. Tolak ukur validitas keilmuan yaitu kedekatan antara teks atau nash dan realitas. 8. Prinsip-prinsip dasar yaitu atomistic, tidak ada hukum kausalitas dan analogi deduktif,  qiyas. 9. Kelompok ilmu ilmu pendukung yaitu kalam, fiqih, nahwu. 10. Hubungan subyek dan obyek yaitu subjecvite  (theistic dan fedeistic subjectivism).
Dalam aplikasinya,pendekatan bayani akan memperkaya ilmu fiqih dan ushul fiqih, lebih lebih qawaidul lughahnya. Namun hal itu bearti bukan tanpa kelemahan. Kelemahan mencolok pada nalar bayani adalah ketika harus berhadapan dengan teks teks yang berbeda.
Karena otoritas ada pada teks dan rasio hanya berfungsi sebagai pengawal teks, sementara sebuah teks belum tentu diterima oleh golongan lain, maka ketika berhadapan, nalar bayani menghasilkan sikap mental yang dogmatis, defensif dan apologetik dengan semboyan kurang lebih “right or wrong is my country”.
 2. Metode berfikir burhani.
Untuk mendapatkan sebuah pengetahuan burhani menggunakan silogisme. Mengikuti Aristoteles, Aristoteles menjelaskan silogisme dengan cara yang berbeda dengan metode silogisme yang telah disebutkan sebelumnya. Model silogisme Aristoteles sering disebut silogisme katagorik karena semua proposisinya katagorik. Silogisme terdiri dari beberapa komponen yaitu premis mayor, premis minor dan kesimpulan.
Penarikan kesimpulan dengan silogisme ini harus memenuhi beberapa syarat yaitu
a.  Mengetahui latar belakang dari penyusun premis.
b. Adanya konsistensi logis anatara alas an dan kesimpulan.
c. Kesimpulan yang diambil harus bersifat pasti dan benar.l
Di dalam istilah yang digunakan oleh skolastik terdapat beberapa bentuk silogisme:
a. Bentuk pertama, term tengah (middle term) menjadi subyek pada premis mayor dan menjadi predikat pada premis minor.
Contoh:
1). Semua manusia fana (premis mayor).
Sokrates adalah seorang manusia (premis minor).
Sokrates fana(kesimpulan).
Model ini disebut Barbara
2). Tak akan  ada ikan yang rasional.
Semua hiu adalah ikan.
Tak ada hiu yang rasional.
Model ini disebut calerent.
3). Tak ada orang yunani berkulit hitam.
Sebagian manusia adalah orang yunani.
Sebagian manusia tak berkulit hitam.
Model ini disebut ferio.
b. Bentuk kedua, term tengah (middle term) menjadi predikat pada premis mayor dan premis minor.
Contoh: Semua tumbuhan membutuhkan air.
Tidak satupun benda mati membutuhkan air.
Tidak satupun benda mati adalah tumbuhan.

c. Bentuk ketiga, term tengah (middle term) menjadi subyek pada premis mayor dan premis minor.
Contoh: Setiap manusia mempunyai rasa takut. Tetapi setiap manusia adalah makhluk hidup. Sebagian makhluk hidup mempunyai rasa takut.
Dengan landasan logika Aristoteles, beberapa metode yang dipakai dalam epistemologi burhani adalah metode deduksi,  induksi, konsep universalisme. Universalitas-universalitas induktif, prinsip kausalitas dan  historitas serta tujuan syari’ah.
Perbedaan mendasar antara penalaran dengan epistemologi bayani dan burhani adalah inferensi pada bayani didasarkan atas lapal, sedangkan pada epistemologi burhani didasarkan pada makna. Epistemologi burhani digunakan untuk mengukur benar atau tidaknya sesuatu adalah dengan berdasarkan komponen kemampuan alamiah manusia berupa pengalaman dan akal tanpa dasar teks wahyu suci yang memunculkan peripatik. Maka sumber pengetahuan dengan nalar burhani adalah realitas dan empiris; alam, sosial, dan humanities. Artinya ilmu diperoleh sebagai hasil penelitian, hasil percobaan, hasil eksperimen, baik di laboratorium maupun di alam nyata baik yang bersifat sosial maupun alam.
Dalam menelaah epistemologi burhani tidak akan terlepas dari dua metodologi sebelumnya, Yaitu epistemologi bayani dan irfani. Dari perpaduan ini muncul nalar aduktif yakni mencoba memadukan model berfikir deduktif dan induktif antara hasil bacaan yang bersifat kontekstual terhadap nash dan hasil hasil penelitian empiris, justru kelak melahirkan ilmu Islam yang lengkap (komprehensif), luar biasa dan kelak dapat sebenarnya kedua epistemelogi ini tidaklah jauh berbeda dengan epistemologi burhani. Perbedaan ini hanya faktor perbedaan episteme, yang mana episteme tersebut masih dibangun di atas nilai al- Qur’an dan al-hadits.
3. Metode berfikir` irfani.
 Pengetahuan irfani didasarkan pada kasyf atau tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Karena itu pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks dan logika tetapi dengan olah rohani, dimana dengan kesucian hati diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Masuk dalam pikiran, dikonsep kemudian dikemukakan kepada orang lain secara logis. Dengan demikian pengetahuan irfani setidaknya diperoleh melalui 3 tahap yaitu: Persiapan, Penerimaan dan Pengungkapan dengan lisan atau tulisan.
Tahap pertama persiapan. Untuk bisa menerima limpahan pengetahuan, seseorang harus menempuh jenjang-jenjang kehidupan spiritual. Setidaknya ada  tujuh tahapan yang harus dijalani, mulai dari bawah menuju puncak
a. Taubat.
b. Wara’: menjauhkan diri dari segala sesuatu yang subhat.
c. Zuhud: tidak tamak dan tidak mengutamakan kehidupan dunia.
d. Faqir: mengosongkan seluruh pikiran dan harapan masa depan dan tidak menghendaki apapun kecuali Tuhan.
e. Sabar menerima bencana dengan prilaku sopan dan rela.
f. Tawakkal percaya atas segala sesuatu yang ditentukan Allah.
g. Ridha hilangnya rasa ketidak senangan dalam hati sehingga yang tersisa hanya gembira dan sukacita.
Tahap kedua penerimaan. Jika telah mencapai tingkat tertentu dalam sufisme, seseorang akan mendapat limpahan pengetahuan langsung dari Tuhan secara iluminatif. Pada tahap ini seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran diri yang demikian mutlak. Sehingga dengan kesadaran itu ia mampu melihat realitas dirinya sendiri (musyahadah) sebagai obyek yang diketahui. Namun realitas kesadaran dan realitas yang disadari tersebut, keduanya bukan sesuatu yang berbeda tetapi merupakan eksistensi yang sama, sehingga obyek yang diketahui tidak lain adalah kesadaran yang mengetahui itu sendiri, begitu pula sebaliknya (ijtihad).
Tahap ketiga pengungkapan. Yakni pengalaman mistik di interpretasikan dan diungkapkan kepada orang lain lewat ucapan atau tulisan.
Adapun pendekatan nalar irfani meliputi:
a. Origin yaitu experience.
b. Metode (proses dan prosedur).
c. Approach yaitu psiko-gnosis, intuitif zauq, al-la’aqlaniyah.
d. Theoretical framework (kerangka teori) yaitu zahir batin, tanzil  takwil, nubuwwah wilayah, haqiqi majazi.
e. Fungsi dan peran meliputi partisipasif ( al-hads wal al-wijan, bila wasitah: bila hijab).
f. Types of argument ayaitu atiffiyah wijdaniyah, spirituality (esoteric).
g. Tolak ukur validitas keilmuan yaitu universal reciprocity, empati, simpati, understanding other.
h. Prinsip prinsip dasar yaitu al-ma’rifah, al-ittihad/ al-fana’.
i. Kelompok ilmu ilmu pendukung yaitu al-mutasawwifah, ashab al-irfan ma’rifah (esoteric).
j. Hubungan subyek dan obyek yaitu intersubjective, wihdatul wujud.

C.    Keunggulan dan Kelemahan metode berfikir Bayani, Burhani dan Irfani.
Pada prinsipnya, Islam  telah memiliki epistemologi yang komprehensif sebagai kunci untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Hanya saja dari tiga kecenderungan epistemologis yang ada (Bayani, Burhani dan Irfani), dalam  perkembangannya lebih didominasi oleh corak berpikir Bayani yang sangat tekstual dan corak berpikir Irfani (kasyf) yang sangat sufistik. Kedua kecenderungan ini kurang begitu memperhatikan pada penggunaan rasio secara optimal. Namun dari ketiga epistemologi tersebut (Bayani, Burhani dan Irfani) memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing.
 Keunggulan dan kelemahan masing-masing epistemologi dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.  Keunggulan dan kelemahan epistemologi bayani
Keunggulan bayani terletak pada  kebenaran teks (al-Qur’an dan Hadis) sebagai sumber utama hukum Islam yang bersifat universal sehingga menjadi pedoman dan patokan.  Dalam pendekatan bayani, oleh karena dominasi teks sedemikian kuat, maka peran akal hanya sebatas sebagai alat pembenaran atau justifikasi atas teks yang dipahami atau diinterpretasi. Dalam aplikasinya, pendekatan bayani akan memperkaya lilmu fikih dan ushul fikih, lebih-lebih qawaidul lughahnya.
Namun, hal itu berarti bukan tanpa kelemahan. Kelemahan mencolok pada Nalar Bayani adalah ketika harus berhadapan dengan teks-teks yang berbeda milik komunitas, bangsa, atau masyarakat lainnya. Karena otoritas ada pada teks, dan rasio hanya berfungsi sebagai pengawal teks, sementara sebuah teks belum tentu diterima oleh golongan lain. Dalam epistemologi bayani sebenarnya ada penggunaan  rasio, akan tetapi relatif sedikit dan sangat  tergantung pada teks yang ada.  Penggunaan yang terlalu dominan atas epistemologi ini telah menimbulkan stagnasi dalam kehidupan beragama, karena ketidakmampuannya merespon perkembangan zaman. Hal ini dikarenakan epistemologi bayani selalu menempatkan akal menjadi sumber sekunder, sehingga peran akal menjadi terpasung di bawah bayang-bayang teks, dan tidak menempatkannya secara sejajar, saling mengisi dan melengkapi dengan teks.
2.  Keunggulan dan kelemahan epistemologi burhani
Sistem berpikir yang konstruksi epistemologinya dibangun di atas semangat akal dan logika dengan beberapa premis merupakan keunggulan epistemologi burhani. Epistemologi burhani berusaha memaksimalkan akal dan menempatkannya sejajar dengan teks suci dalam mendapatkan ilmu pengetahuan. Dalam epistemologi burhani ini, penggunaan rasionalitas tidak terhenti hanya sebatas rasio belaka, tetapi melibatkan pendekatan empiris sebagai kunci utama untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, sebagaimana banyak dipraktekkan oleh para ilmuan Barat.
Namun Kendala yang sering dihadapi dalam penerapan pendekatan ini adalah sering tidak sinkronnya teks dan realitas. Produk ijtihadnya akan berbeda jika dalam pengarusutamaan teks atau konteks. Masyarakat lebih banyak memenangkan teks daripada konteks, meskipun yang lebih cenderung kepada kontekspun juga tidak sedikit.
3. Keunggulan dan kelemahan epistemologi irfani
Di antara keunggulan irfani adalah bahwa segala pengetahuan yang bersumber dari intuisi-intuisi, musyahadah, dan mukasyafah lebih dekat dengan kebenaran dari pada ilmu-ilmu yang digali dari argumentasi-argumentasi rasional dan akal. Bahkan kalangan sufi menyatakan bahwa indra-indra manusia dan fakultas akalnya hanya menyentuh wilayah lahiriah alam dan manifestasi-manifestasinya, namun manusia dapat berhubungan secara langsung (immediate) yang bersifat intuitif dengan hakikat tunggal alam (Allah) melalui dimensi-dimensi batiniahnya sendiri dan hal ini akan sangat berpengaruh ketika manusia telah suci, lepas, dan jauh dari segala bentuk ikatan-ikatan dan ketergantungan-ketergantungan lahiriah.
Namun kendala atau keterbatasan irfani antara lain adalah bahwa ia hanya dapat dinikmati oleh segelintir manusia yang mampu sampai pada taraf pensucian diri yang tinggi. Di samping itu, irfani sangat subjektif menilai sesuatu karena ia berdasar pada pengalaman individu manusia. Kritik lainnya adalah sifatnya yang irasional, dan anti kritik terhadap penalaran. Metode yang digunakan adalah logika paradoksal, segala-galanya bisa dicipta tanpa melalui sebab-sebab yang mendahuluinya. Akibatnya, pemikiran para sufi kehilangan dimensi kritis dan bersifat magis yang menyebabkan kemunduran pola pikir umat islam.
Setiap epistemologi, termasuk di dalamnya Irfani, memiliki kelebihan dan kelemahan. Tidak ada di antara ketiga epistemologi keilmuan islam tersebut yang sempurna. Eksistensi ketiganya justru saling melengkapi satu sama lain. Oleh karena itu, hal yang bijak bukanlah menafikan eksistensi peran masing-masing, tetapi bagaimana masing-masing epistemologi tersebut menjalankan perannya yang tepat dan saling melengkapi satu sama lain.


BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan.
1. Epistemologi secara etimologi adalah teori tentang pengetahuan . sedangkan secara terminologi berarti cabang filsafat yang menyelidiki tentang keaslian pengertian, struktur, mode dan validasi pengetahuan. Epistemologi bayani adalah  suatu pendekatan dengan cara menganalisis teks. Burhani adalah aktivitas berpikir untuk menetapkan kebenaran suatu premis melalui metode penyimpulan (al-istintaj), dengan menghubungkan premis tersebut dengan premis yang lain yang oleh nalar dibenarkan atau telah terbukti kebenarannya (badlihiyyah). Irfani adalah pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakekat oleh Tuhan kepada hambanya (al-kasyf) setelah melalui riyadah.
2. Untuk mendapatkan sebuah pengetahuan metode berfikir bayani  menempuh dua cara yaitu pertama berpegang pada redaksi (lapazh) teks  dengan menggunakan kaidah bahasa Arab. Kedua, Menggunakan metode qiyas  (analogi). Metode berfikir burhani  menggunakan silogisme dan metode irfani pengetahuan diperoleh dengan olah rohani, dimana dengan kesucian hati diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya.
3. Ketiga metode berfikir bayani, burhani dan irfani masing-masing memiliki keunggulan dan kelemahan. Metode bayani     keunggulannya terletak pada  kebenaran teks (al-Qur’an dan al-Hadis) sebagai sumber utama hukum Islam yang bersifat universal sehingga menjadi pedoman dan patokan. Kelemahannya adalah ketika harus berhadapan dengan teks-teks yang berbeda milik komunitas, bangsa, atau masyarakat lainnya. Sementara sebuah teks belum tentu diterima oleh golongan lain. Adapun keunggulan dari burhani yaitu sistem berpikir yang konstruksi epistemologinya dibangun di atas semangat akal dan logika dengan beberapa premis. Namun kelemahannya adalah sering tidak sinkronnya teks dan realitas. Adapun keunggulan irfani adalah bahwa segala pengetahuan yang bersumber dari intuisi-intuisi, musyahadah, dan mukasyafah lebih dekat dengan kebenaran dari pada ilmu-ilmu yang digali dari argumentasi-argumentasi rasional dan akal. Namun kelemahannya adalah bahwa ia hanya dapat dinikmati oleh segelintir manusia yang mampu sampai pada taraf pensucian diri yang tinggi. Di samping itu, irfani sangat subjektif menilai sesuatu karena ia berdasar pada pengalaman individu manusia.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah , Amin. Studi Agama Normativitas dan Historitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996).

Aziz , Abdul.  Filsafat Pendidikan Islam (Yogyakarta: Teras, 2009).

Kertanegara , Mulyadi.  Panorama Filsafat Islam (Bandung: Mizan Pustaka, 2005).

Koattsoff , Louis O.  Element of Philosophy: Unsur unsure Filsafat (terjm Soejono Soemargono, (Yayasan Pembinaan fakultas hokum UGM).

Muhammad Amin, Miska. Epistemologi Islam (Jakarta: UIP, 2006).

Naim, Ngainun. Pengantar Studi Islam  (Yogyakarta: Teras, 2009).

Supriyadi, Dedi.  Pengantar Filsafat islam, Konsep, Filsuf, dan Ajarannya (Bandung: Pustaka Setia,2009).










Kritik terhadap aliran eksistensialisme

A. PENGERTIAN EKSISTENSIALISME.
Menurut Ahmad Tafsir dalam Hakim  dan Saebani, eksistensialisme  berasal dari kata eksistensi dari kata dasar existency yaitu exist. Kata exist adalah bahasa latin yang berarti ex keluar dan sistare artinya berdiri. Jadi eksistensi adalah berdiri sendiri dengan keluar dari diri sendiri.
Eksistensialisme merupakan suatu aliran dalam ilmu filsafat yang menekankan  pada manusia,  dimana manusia dipandang sebagai suatu makhluk yang harus bereksistensi, mengkaji cara manusia berada di dunia dengan kesadaran. Jadi  dapat dikatakan pusat renungan eksistensialisme adalah manusia kongkrit.
Ada juga yang mendefinisikan bahwa eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang memandang berbagai gejala dengan berdasar pada eksistensinya. Artinya bagaimana manusia berada (bereksistensi) dalam dunia.
 Ciri ciri aliran eksistensialisme menurut Harun Hadiwijono (1990) adalah sebagai berikut:
1. Motif pokok adalah apa yang disebut eksistensi yaitu cara manusia berada. Hanya manusialah yang bereksistensi. Eksistensi adalah cara khas manusia berada. Pusat perhatian ini adalah manusia. Oleh karena itu, filsafat ini bersifat humanities.
2. Bereksistensi harus diartikan bersifat dinamis. Bereksistensi berarti menciptakan dirinya secara aktif. Bereksistensi berarti berbuat, menjadi, merencanakan. Setiap manusia menjadi lebih atau kurang dari keadaannya.
3. Di dalam eksistensialisme manusia dipandang sebagai terbuka. Manusia adalah realitas yang belum selesai, yang masih harus dibentuk. Pada hakekatnya manusia terikat kepada dunia sekitarnya, terlebih lagi pada manusia sekitarnya.
4. Eksistensialisme memberi tekanan kepada pengalaman yang kongkrit, pengalaman yang eksistensial. Hanya arti pengalaman ini berbeda beda. Heidegger memberi tekanan kepada kematian, yang menyuramkan segala sesuatu, Marcel kepada pengalamaan keagamaan dan Jasper kepada pengalaman hidup yang bermacam macam seperti kematian, penderitaan, perjuangan dan kesalahan.
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang menekankan eksistensia. Para pengamat eksistensialisme tidak mempersoalkan esensia dari segala yang ada karena memang sudah ada dan tak ada persoalan. Kursi adalah kursi. Pohon mangga adalah pohon mangga. Harimau adalah harimau. Namun mereka mempersoalkan bagaimana segala yang ada berada dan untuk apa berada.
Metode eksistensialis bermacam-macam namun pada dasarnya metode-metode eksistensial itu dipengaruhi oleh  Kierkegaard (1813-1855), bapak eksistensialisme. Pemikiran dan metode Kierkegaard merupakan reaksi yang  terutama tertuju pada rasionalisme idealistis Hegel yang dianggapnya telah mati dan tidak berguna lagi.  Filsafat Kierkegaard bertujuan untuk menjawab pertanyaan bagaimanakah aku sebagai seorang individu?. Hal ini terjadi karena pada saat itu terjadi eksistensial (manusia melupakan  individualitasnya). Jawabannya, manusia bisa menjadi individu  yang autentik jika memiliki gairah, keterlibatan, dan komitmen pribadi dalam kehidupan.

B. LATAR BELAKANG MUNCULNYA ALIRAN  EKSISTENSIALISME.
  Sesuai dengan sifatnya yang radikal, filsafat merupakan ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang ada secara mendalam, sehingga dengan adanya filsafat kita akan tahu akar-akar dari berbagai macam ilmu lainnya dan juga dasar dari segala yang ada. Filsafat sebagai mother of scientist terus saja berkembang, mencari asas, memburu kebenaran, mencari kejelasan dan selalu berfikir secara rasional. Maka tidak heran setiap abadnya teruslah terlahir berbagai macam ahli filsafat di belahan dunia yang berbeda-beda dengan berbagai macam cara berpikir yang berbeda pula.
Eksistensialisme merupakan suatu aliran filsafat yang muncul karena  ketidak puasan beberapa filosof yang memandang bahwa filsafat pada masa Yunani saat itu  seperti protes terhadap rasionalisme Yunani, khususnya pandangan tentang spekulatif tentang manusia. Intinya menolak mengikuti suatu aliran. Selain itu filsafat ini juga lahir dari  karena sadarnya beberapa golongan filusuf yang menyadari bahwa manusia mulai terbelenggu dengan aktifitas teknologi yang membuat mereka kehilangan hakekat hidupnya sebagai manusia atau mahluk yang bereksistensi dengan alam dan lingkungan sekitar bukan hanya dengan semua serba instant. Selain itu  filsafat eksistensialisme ini lahir dari berbagai krisis atau merupakan reaksi atas aliran filsafat yang telah ada sebelumnya atau situasi dan kondisi dunia, yaitu:
1. Materialisme.
Menurut pandangan materialism  manusia itu pada akhirnya adalah benda seperti halnya kayu dan batu. Memang orang materialism tidak mengatakan bahwa manusia sama dengan benda, akan tetapi mereka mengatakan pada  dasarnya, pada instansi yang terakhir manusia hanyalah sesuatu yang material, dengan kata lain materi, betul-betul materi. Menurut bentuknya memang manusia lebih unggul ketimbang sapi tapi pada eksistensinya manusia sama saja dengan sapi.
2. Idealisme.
  Aliran ini memandang manusia hanya sebagai subyek, hanya sebagai kesadaran menempatkan aspek berpikir dan kesadaran secara berlebihan sehingga menjadi seluruh manusia, bahkan dilebih-lebihkan lagi sampai menjadi tidak ada barang lain selain pikiran.

3. Situasi dan kondisi dunia.
 Munculnya eksistensialisme didorong juga oleh situasi dan kondisi di dunia Eropa Barat yang secara umum dapat dikatakan bahwa pada waktu itu keadaan dunia tidak menentu. Tingkah laku manusia telah menimbulkan rasa muak atau mual. Penampilan manusia penuh rahasia, penuh imitasi yang merupakan hasil persetujuan bersama yang palsu yang disebut konvensi atau tradisi. Manusia berpura-pura, kebencian merajalela, nilai sedang mengalami krisis, bahkan manusianya sendiri sedang mengalami krisis. Sementara itu agama di sana dan di tempat lain dianggap tidak mampu memberikan makna pada kehidupan.

C.   TOKOH-TOKOH ALIRAN EKSISTENSIALISME DAN AJARANNYA.
Tokoh tokoh eksistensialisme  yang terkenal diantaranya yaitu: Martin Heidegger  adalah  Orang  Jerman, Soren Aabye Kierkegaard adalah orang Denmark , Jean. Paul.  Sartre  dan  Gabriel  Marchel mereka berdua orang Prancis. Namun  dalam  makalah  ini penulis membatasi pada 3 tokoh ini yang dipandang  mewakili tokoh- tokoh  lainnya, yaitu Soren Aabye Kierkegaard, Jean. Paul.  Sartre  dan  Gabriel  Marchel.
1. Soren Aabye Kierkegaard.
Soren Aabye Kierkep Gangaard lahir di Kopenhagen, Denmark. Ia lahir ketika ayahnya berumur 56 tahun dan ibunya 44 tahun. Ia mulai belajar teologi di universitas Kopenhagen. Ia menentang keras pemikiran Hegel yang mendominasi di universitas tersebut. Dalam kurun waktu ini ia apatis terhadap agama. Ia ingin hidup bebas dari lingkungan aturan agama. Setelah mengalami masa krisis religious,  ia kembali menekuni ilmu pengetahuan dan menjadi pastur Lutheran.
Pada tahun 1841 ia mempublikasikan buku pertamanya om begrebet ironi (The concept of irony). Karya ini sangat orisinil dan memperlihatkan kecemerlangan pemikirannya.  Ia mengecam keras asumsi-asumsi  pemikiran Hegel yang bersifat umum. Karya agungnya terjelma dalam Afsluttende Uvidenskabelig Efterskriff (Concluding Unscientific Postcript) tahun 1846, Ia mengungkapkan ajaran ajarannya yang bermuara pada kebenaran subyek.
Ide ide pokok Soren Aabye Kierkegaard adalah sebagai berikut:
a. Pandangannya tentang manusia.
Kiergegaard menekankan posisi penting dalam diri seseorang yang bereksistensi bersama dengan analisisnya tentang segi segi kesadaran religious seperti iman, pilihan, keputus asaan dan ketakutan. Pandangan ini sangat berpengaruh terutama di Jerman. Ia mempengaruhi sejumlah ahli teologi Protestan dan filosof filosof eksistensial termasuk Heidegger, Jaspers, Marcel, dan  Buber.
Alur pemikirannya mengajukan persoalan pokok dalam hidup. Apakah artinya menjadi seorang kristiani?  Dengan tidak memperlihatkan wujud secara umum. Ia memperhatikan eksistensi seorang sebagai pribadi. Ia mengharapkan agar kita perlu memahami agama Kresten yang otentik. Ia berpendapat bahwa musuh agama Kresten ada dua yaitu filsafat Hegel yang berpengaruh pada saat itu. Baginya, pemikiran abstrak baik dalam bentuk filsafat Descartes atau Hegel akan menghilangkan personalitas manusia dan membawa kita pada kedangkalan makna kehidupan. Dan yang kedua adalah konvensi, khususnya adat kebiasaan jemaat gereja yang tidak berpikir secara mendalam, tidak menghayati agamanya, yang akhirnya ia memiliki agama yang kosong dan tak mengerti apa artinya menjadi seorang kristiani.
Kierkegaard bertolak belakang dengan Hegel. Keberatan utama yang diajukannya adalah karena Hegel meremehkan eksistensi yang kongkrit, karena Hegel mengutamakan idea yang sifatnya umum. Menurut Kierkegaard manusia tak pernah hidup sebagai sesuatu “aku umum” tetapi sebagai “aku individual” yang sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu yang lain.   Ia tidak suka pada usaha usaha untuk menjadikan agama Kristen sebagai agama yang masuk akal dan tidak menyukai pembelaan terhadap agama Kristiani yang menggunakan alasan-alasan yang obyektif.
b. Pandangan tentang eksistensi.
Kiekegaard mengawali pemikirannya bidang eksistensi dengan mengajukan pernyataan ini bagi manusia yang terpenting dan utama adalah keadaan dirinya atau eksistensi dirinya. Eksistensi manusia bukanlah statis tetapi senantiasa menjadi artinya manusia itu selalu bergerak dari kemungkinan kenyataan. Proses ini berubah, bila kini sebagai suatu yang mungkin, maka besok akan berubah menjadi kenyataan. Karena manusia itu punya kebebasan. Maka gerak perkembangan ini semuanya berdasarkan pada manusia itu sendiri. Eksistensi manusia justru terjadi dalam kebebasannya. Kebebasan itu muncul dalam aneka perbuatan manusia. Baginya bereksistensi berarti berani mengambil keputusan yang menentukan bagi hidupnya. Konsekwensinya, jika kita tidak berani mengambil keputusan dan tidak berani berbuat, maka kitta tidak bereksistensi dalam arti sebenarnya.
Kierkegaard membedakan tiga bentuk eksistensi, yaitu estetis, etis,dan religius:
1). Eksistensi estetis  menyangkut kesenian,  keindahan. Manusia  hidup
dalam lingkungan dan masyarakat, karena itu fasilitas yang dimiliki dunia dapat dinikmati manusia sepuasnya. Di sini eksistensi estetis hanya bergelut terhadap hal-hal yang dapat mendatangkan kenikmatan pengalaman emosi dan nafsu. Eksistensi ini tidak mengenal ukuran norma, tidak adanya keyakinan akan iman yang menentukan.
2).Eksistensi etis. Setelah manusia menikmati fasilitas dunia, maka ia juga memperhatikan dunia batinnya. Untuk keseimbangan hidup, manusia tidak hanya condong pada hal-hal yang konkrit saja tapi harus memperhatikan situasi batinnya yang sesuai dengan norma-norma umum. Sebagai contoh untuk menyalurkan dorongan seksual (estetis) dilakukan melaui jalur perkawinan (etis
3).Eksistensi religius. Bentuk ini tidak lagi membicarakan hal-hal konkrit, tetapi sudah menembus inti yang paling dalam dari manusia. Ia bergerak kepada yang absolut, yaitu Tuhan. Semua yang menyangkut Tuhan tidak masuk akal manusia. Perpindahan pemikiran logis manusia ke bentuk religius hanya dapat dijembatani lewat iman religius.
c. Pandangan tentang teodise.
Menurut Kierkegaard, antara Tuhan dengan alam, antara Pencipta dengan makhluk terdapat jurang yang tidak terjembatani. Ia menjelaskan bahwa Tuhan itu berdiri diatas segala ukuran sosial dan etika. Sedangkan manusia berada jauh dibawahNya. Keadaan seperti ini menyebabkan manusia cemas akan eksistensinya. Tetapi dalam kecemasan ini seseorang dapat menghayati makna hidupnya. Jika seseorang dalam kecemasan, maka akan membawa dirinya pada suatu keyakinan tertentu.
2. Jean. Paul.  Sartre.
Jean Paul Sartre lahir di Prancis 21 juni 1905 dan wafat tahun 1980. Ia adalah seorang penulis Prancis. Ia dianggap sebagai pengembang aliran eksistensialisme. Sartre menyatakan bahwa  eksistensi lebih dulu dari pada esensi. Manusia tidak memiliki apa-apa saat dilahirkan dan selama hidupnya ia tidak lebih hasil kalkulasi dari komitmen-komitmennya pada masa lalu. Karena itu menurut Sartre satu satunya landasan nilai adalah kebebasan manusia.
Pada tahun 1931 ia mengajar sebagai guru filsafat di Paris. Pada saat itu ia bertemu dengan Husserl. Semenjak itu ia mendalami  fenomenologi dalam mengungkapkan filsafat eksistensialismenya. Karyanya yang terkenal dalam bidang filsafat ialah being ang nothingness, buku ini membicarakan tentang alam dan bentuk eksistensinya. Eksistensialisme dan humanism yang berisi tentang manusia. Ia juga termasuk tokoh yang membantu gerakan haluan kiri dan membela kebebasan manusia. Dengan lantang ia mengatakan bahwa manusia tidak memiliki sandaran agama atau tidak dapat mengendalikan  pada kekuatan yang ada diluar dirinya, manusia harus mengandalkan  kekuatan yang ada dalam dirinya, karya karyanya antara lain adalah no exit, the files, the wall dan nausea.
    Ide ide pokok Jean. Paul. Sartre adalah sebagai berikut:
a. Pandangan tentang manusia.
Bagi Sartre manusia memiliki kemerdekaan untuk membentuk dirinya, dengan kemauan dan tindakannya. Kehidupan manusia itu mungkin tidak mengandung arti dan bahkan mungkin tidak masuk akal. Tetapi yang jelas, manusia dapat hidup dengan aturan aturan integritas, keluhuran budi, dan keberanian, dan dia dapat membentuk  suatu masyarakat manusia. Dalam novel semi otobiografi la nausea dan essei l eksistensialisme est un humanism ia mengatakan keprihatinan fundamental terhadap eksistensi  manusia dan kebebasan kehendak. Menurutnya manusia tidak memiliki apa apa sejak lahir.  Dari kodratnya manusia bebas dalam pilihan-pilihan atas tindakannya atau memikul beban tanggung jawab.
Sartre mengikuti  Nietzsche yakni mengingkari adanya Tuhan. Manusia tak ada hubungannya dengan kekuatan yang ada di luar dirinya. Ia mengambil kesimpulan lebih lanjut yakni memandang manusia saebagai kurang memiliki watak yang semestinya. Ia harus membentuk pribadinya dan memilih kondisi yang sesuai dengan kehidupannya. Maka dari itu tak ada watak manusia. Oleh karena tak ada Tuhan yang memiliki konsepsi tentang manusia. Manusia hanya sekedar ada. Bukan hanya karena ia itu sekedar apa yang ia konsepsikan setelah ada, seperti apa yang dia inginkan sesudah loncat ke dalam eksistensi. Sartre mengingkari adanya bantuan dari luar diri manusia. Manusia harus bersandar pada sumber sumbernya sendiri dan bertanggung jawab sepenuhnya bagi pilihan-pilihannya. Karena itu bagi Sartre pandangan eksistensialis  adalah suatu doktrin yang memungkinkan kehidupan manusia. Eksistensialisme mengajarkan bahwa tiap kebenaran dan tiap tindakan mengandung keterlibatan lingkungan  dan subyektivitas manusia. Terkait dengan nilai dan norma sosial. Sartre berpendapat bahwa tidak seharusnya manusia tunduk dan taat pada nilai-nilai dan norma-norma yang dikukuhkan dalam masyarakat, sebab nilai-nilai dan norma-norma tersebut akan mengamputasi kebebasan manusia. Dan lagi, manusia akan menjadi budak dari nilai dan norma tersebut, karena hidup manusia tidak diperintahkan oleh dirinnya sendiri tetapi diperintahkan oleh sumber yang lain.

b. Pandangan tentang kebebasan.
Dalam pemikiran Sartre selalu bermuara pada konsep kebebasan. Ia mendefinisikan manusia sebagai kebebasan. Manusia punya kebebasan yang otonom. Sartre memberikan perumusan bahwa pada manusia itu eksistensi mendahului esensi, maksudnya setelah manusia mati baru dapat diuraikan ciri ciri seseorang. Perumusan ini menjadi intisari aliran eksistensialisme dari Sartre. Kebebasan akan memberi rasa hormat pada dirinya dan menyelamatkan diri dari sekedar menjadi obyek. Kebebasan manusia tampak dari rasa cemas, maksudnya karena setiap perbuatan seseorang adalah tanggung jawab orang itu sendiri. Bila seorang menjauhi kecemasan, maka berarti ia telah menjauhi kebebasan. Kebebasan merupakan suatu kemampuan manusia dan merupakan sifat kehendak. Posisi kebebasan itu tidak dapat bertumpu pada suatu yang lain, tapi pada kebebasan  itu sendiri.
Sartre mengakui pemikiran Mark lebih dekat dengan keadaan masyarakat dan satu satunya filsafat yang benar dan definitive. Filsafat Mark telah memberikan kesatuan kongkrit dan dialektis antara ide-ide dengan kenyataan pada masyarakat. Mark telah menekankan konsep keberadaan sosial ketimbang kesadaran sosial. Dan bagi Sartre, Mark adalah seorang pemikir yang berhasil meletakkan makna yang sebenarnya tentang kehidupan dan sejarah. Meski demikian Sartre tidak menganggap pemilikiran Mark sebagai akhir suatu pandangan filsafat, karena setelah cita-cita masyarakat tanpa kelas versi Mark terbentuk,  maka persoalan filsafat bukan lagi soal kebutuhan manusia akan makan dan pakaian, tetapi persoalan filsafat mungkin dengan memunculkan tema yang baru, seperti soal kualitas hidup manusia masa depan. Tetapi pemikiran Mark itu dinilai relevan untuk masa kini.
c. Pandangan tentang Mauvaise Foi.
Konsep ini menjelaskan bahwa penyangkalan diri seseorang terutama hal tidak mengakui dan tidak menerima bahwa seseorang mempunyai kebebasan memilih. Sikap ini menghindari tanggung jawab dan takut membuat keputusan. Konsep ini juga mengandung pengertian kurangnya penerimaan diri, peristiwa tidak menerima atau menipu diri sendiri tentang apa yang benar mengenai diri sendiri.
4. Gabriel  Marchel.
 Gabriel adalah seorang filosof  berkebangsaan Prancis. Dia dikenal sebagai pemain drama dan komposer musik. Dalam gagasan filosofisnya, banyak orang mengatakan bahwa Gabriel Marcel adalah seorang eksistensialis, dan dekat dengan kaum personalis. Karena ia menitik beratkan filosofisnya pada keadaan manusia. Dalam pemahamannya, filsafat dikarakterisasi pada sebuah perasaan tragis manusia. Tetapi juga sebuah pengharapan dan  misteri ada. Pada tahun 1929 ia bergabung dengan gereja Katolik Roma. Walaupun demikian, dia  bukanlah seorang Thomistik, melainkan tetap mendekatkan diri pada kaum eksentialis dan personalis. Setelah tahun 1949  ia terang-terangan menunjuk dirinya sebagai seorang neo-sokratik dan menegaskan mengenai karakter berfikir filosofisnya yang adalah terbuka dan dialogis.
Ide-ide pokok Gabriel  Marchel adalah sebagai berikut:
a. Pandangan tentang manusia.
  Dalam filsafatnya mengatakan bahwa manusia tidak hidup sendirian tapi bersama-sama dengan orang lain. Tetapi manusia punya kebebasan yang bersifat otonom. Ia selalu dalam situasi yang ditentukan oleh ke jasmaniannya.  Dari luar ia dapat menguasai jasmaninya, tapi dari dalam ia dikuasai oleh jasmaninya.
Manusia bukanlah makhluk yang statis, sebab ia senantiasa menjadi (berproses). Ia selalu menghadapi  obyek yang harus diusahakan seperti yang tampak dalam hubungannya dengan orang lain. Perjalanan manusia  ternyata akan berakhir pada kematian, pada yang tidak ada. Perjuangan manusia sebenarnya terjadi di daerah perbatasan antara berada dan tidak berada. Maka manusia menjadi gelisah, menjadi putus asa dan takut kepada kematian. Tapi sebenarnya kemenangan kematian itu hanyalah semu saja, sebab hanya cinta kasih dan kesetiaan itulah yang memberi harapan guna mengatasi kematian. Di dalam cinta kasih dan kesetiaan ada kepastian, bahwa ada engkau yang tidak dapat mati. Harapan itulah yang menembus kematian. Adanya harapan menunjukkan bahwa kemenangan kematian adalah semu. Ajaran tentang harapan ini menjadi puncak ajaran Marcel. Harapan ini menunjuk adanya Engkau yang tertinggi (Toi Supreme), yang tidak dapat dijadikan obyek manusia.  

Berdasarkan  penjelasan diatas,  penulis  tidak setuju dengan pemikiran aliran eksistensialisme yang mengatakan   manusia tidak memiliki sandaran agama dan mengingkari adanya Tuhan. Alasannya kalau mengingkari Tuhan, lalu alam dan manusia siapa yang menciptakan? Bagaimana mungkin sesuatu yang ada, ada dengan sendirinya tanpa ada yang menciptakan. Itu sesuatu yang mustahil dan sangat tidak masuk akal. Lagi pula manusia tidak akan mampu menciptakan dirinya dan alam. Pasti ada suatu zat yang sangat sempurna yang bisa menciptakannya yaitu Allah. Hanya Allah yang bisa bertindak sebagai pencipta. Hanya Allah sebagai pengerak dan penyebab  pertama, Ia tidak dapat digerakkan dan disebabkan oleh sesuatu yang lain selain dari diri-Nya. Dan segala sesuatu yang ada dalam alam semesta ini pasti memiliki hubungan klausal (tidak ada suatu akibat tanpa disertai sebab). Islam juga telah menegaskan bahwa hubungan antara seorang hamba dengan penciptanya merupakan hubungan yang akan meninggalkan efek positif. Allah telah menurunkan syariatnya bagi manusia yang didalamnya mencakup kaidah-kaidah umum dalam kehidupan masyarakat. Kaidah-kaidah itu akan  menjaga nilai-nilai kemanusiaan dari manusia, kaidah itu akan mengarahkan nafsu manusia yang cenderung pada kejelekan menuju kebaikan.
Eksistensi menekankan pada kebebasan individu secara total  dan sepenuhnya menentukan diri sendiri. Dalam hal ini apabila diberikan kebebasan mutlak pada diri manusia  maka pada akhirnya akan menghilangkan eksistensi Tuhan sebagai pencipta dan pengatur kebebasan. Dan hal ini akan membawa kita pada atheisme. Sedangkan kebebasan yang diberikan Islam pada manusia bukanlah kebebasan yang absolut melainkan kebebasan yang tetap pada nilai-nilai agama. Selain itu kebebasan kita  sebagai manusia sudah barang tentu dibatasi oleh segala macam faktor seperti faktor  keterbatasan fisik, psikis, lingkungan, pendidikan, tekanan-tekanan dari masyarakat yang menyudutkan kita  secara terus-menerus  tanpa kita sadari.
Eksistensi tidak menghendaki adanya norma, hal ini sangat bertentangan dengan pendapat penulis karena seandainya tidak ada aturan atau norma dalam kehidupan kita maka kehidupan manusia akan menjadi kacau, manusia  akan bertindak semaunya  dan pada akhirnya akan terjadi berbagai macam prilaku menyimpang yang merugikan orang lain, manusia akan berprilaku seperti binatang. Tanpa adanya norma masyarakat tidak akan mampu untuk mengukur tindakan-tindakannya, mereka tidak akan mampu melihat dengan jelas batasan antara baik atau buruk.
Eksistensi mendahului esensi. Maka dalam hal ini manusia  bertanggungjawab atas mau menjadi apa dia. Pandangan ini terlalu subyektif,  kalau seperti itu lalu dimana tempat orang lain dalam eksistensi individu tersebut, bagaimana dengan hal-hal  tertentu yang  tidak bisa kita tentukan sendiri misalnya kita lahir dimana, dalam keluarga apa, dibesarkan dengan lingkungan berbahasa apa dan lain-lain. Dalam agama Islam keberadaan asal usul  manusia di dunia  adalah   untuk beribadah kepada Allah.  Oleh karenanya dalam ilmu tasawuf/teologi,  konstruksi  maksud dan tujuan kehadiran manusia sudah diformulasikan sejak semula oleh Allah. Jadi, esensi manusia sudah ada sejak dahulu meskipun masih dalam dimensi metafisik,  tetapi hal ini sudah dijelaskan dalam kitab suci Al-Qur’an. Sehingga selanjutnya manusia akan dituntun oleh agama untuk menemukan dirinya.

Minggu, 30 November 2014

Penghianatan Yahudi

Bom-bom Zionis menghancurkan wanita dan anak-anak Libanon. Di  Indonesia “bom pemikiran Yahudi” tak kalah dasyatnya mencabik otak. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-157

Oleh: Adian Husaini

Menyimak keberingasan, kebengisan, dan kepongahan Israel di Lebanon dan Palestina saat ini, ada baiknya kita mengkaji kembali pemahaman kita tentang bangsa Yahudi, sebagaimana digambarkan dalam Al-Quran dan buku-buku sejarah. Ayat-ayat yang menggambarkan karakter dan bangsa Yahudi begitu banyak bertebaran.

Di dalam sejarah kita memahami, bahwa kaum Yahudi adalah kelompok manusia yang begitu banyak dan hobi melakukan pengkhianatan terhadap kebenaran yang disampaikan kepada mereka.

Di Madinah (Yathrib), kaum Yahudi telah mengabarkan kepada penduduk setempat akan edatangan seorang Nabi terakhir. Dan ini telah diberitakan oleh Nabiyullah Isa a.s. kepada mereka, jauh-jauh sebelumnya. Tetapi, ketika Rasul itu (Nabi Muhammad saw) benar-benar tiba,
maka justru mereka menjadi orang pertama yang mengingkarinya.

“Dan (ingatlah) ketika Isa Ibnu Maryam berkata: "Hai Bani Israil, Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab sebelumku, Yaitu Taurat, dan memberi khabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)." Maka tatkala Rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: "Ini adalah sihir yang nyata." (QS as-Shaf:6).

Itulah karakter Yahudi. Sebuah karakter yang dengan begitu mudah menolak kebenaran, meskipun mereka tahu tentang kebenaran. Karena itu, Rasulullah saw menjelaskan, bahwa makna kata ‘al-maghdhub’ (yang dimurkai Allah SWT)  dalam surat al-Fatihah adalah ‘al-Yahud’. Jadi kaum Yahudi adalah prototipe orang yang tahu tentang kebenaran tetapi tidak mau mengikuti kebenaran, bahkan sebaliknya, merekalah yang menyembunyikan dan mengubah-ubah kebenaran.

Al-Quran menjelaskan bagaimana kaum Yahudi hobi mengubah-ubah kitab suci mereka, sehingga tidak diketahui lagi mana wahyu yang asli dan mana yang merupakan tambahan mereka. “Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya; "Ini dari Allah", (dengan maksud) untuk memperoleh Keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang mereka kerjakan.” (QS al-Baqarah:79).

Akibat pengkhianatan mereka terhadap kebenaran ini, maka mereka juga menyesatkan kaum lainnya yang mengikuti mereka.  Hingga kini diakui oleh para pengkaji agama Yahudi, bahwa masalah besar dalam mengkaji Kitab Yahudi (Bibel Yahudi – yang oleh orang Kristen disebut sebagai ‘Perjanjian Lama’) adalah masalah otentisitas teks-teks Bibel tersebut. Yakni membedakan, mana yang asli dan mana yang sisipan.

Th.C. Vriezen, dalam bukunya, Agama Israel Kuno (Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 2001), menulis:  “Ada beberapa kesulitan yang harus kita hadapi jika hendak membahas bahan sejarah Perjanjian Lama secara bertanggung jawab. Sebab yang utama ialah bahwa proses sejarah ada banyak sumber kuno yang diterbitkan ulang atau diredaksi (diolah kembali oleh penyadur).
Proses penyaduran turun-temurun itu ada untung ruginya. Salah satu keuntungannya ialah bahwa sumber-sumber kuno itu dipertahankan dan tidak hilang atau terlupakan. Namun, ada kerugiannya yaitu adanya banyak penambahan dan perubahan yang secara bertahap dimasukkan ke dalam naskah, sehingga sekarang sulit sekali untuk menentukan bagian mana dalam naskah historis itu yang orisinal (asli) dan bagian mana yang merupakan sisipan.”

Richard Elliot Friedman, dalam bukunya, Who Wrote the Bible, (New York: Perennial Library, 1989), juga menulis: “It is a strange fact that we have never known with certainty who produced the book that has played a central role in our civilization.

Jadi, menurut Friedman, adalah hal yang ajaib bahwa kaum Yahudi-Kristen sebenarnya tidak pernah tahu dengan pasti, siapa yang menulis kitab mereka. Padahal, kitab itu sudah begitu memainkan peran sentral dalam peradaban mereka.

Bahkan, Kitab Torah (Five Book of Moses, yakni Kitab Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, dan Ulangan) dikatakan Friedman sebagai salah satu teka-teki paling kuno di dunia (It is one
of the oldest puzzles in the world).

Gara-gara ulah Yahudi yang mengubah-ubah kitab mereka itu, maka kebenaran menjadi kabur, karena dicampur aduk dengan kebatilan. Dalam surat al-Baqarah:41-42 sudah disebutkan peringatan Allah agar kaum Yahudi jangan menjadi orang yang pertama kafir dan jangan mencampuradukkan antara yang haq dan bathil dan menyembunyikan kebenaran.

“Dan berimanlah kamu kepada apa yang telah aku turunkan (Al Quran) yang membenarkan apa yang ada padamu (Taurat), dan janganlah kamu menjadi orang yang pertama kafir kepadanya, dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kamu harus bertakwa. Dan janganlah kamu campur adukkan yang haq dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang haq itu, sedang kamu mengetahui.”

Tentu saja kaum Yahudi sangat tertohok dengan ayat-ayat Aal-Quran yang menelanjangi habis-habisan kecurangan mereka. Karena itu bisa dipahami jika mereka tidak pernah ridho kepada kaum Muslim, sampai kaum Muslim mengikuti millah mereka (QS al-Baqarah 2:120). Mereka kemudian menyimpan dendam yang terus terpendam dan berusaha keras untuk merusak Islam.

Jika kita cermati, saat ini, betapa banyak orang diantara kaum Muslim yang – sadar atau tidak – mengikuti jejak kaum Yahudi dalam mengubah-ubah dan menyembunyikan kebenaran. Kita tidak habis pikir, bagaimana ada orang yang mengaku Islam tetapi mendukung upaya penyerangan terhadap Al-Quran, melecehkan Nabi Muhammad dan para sahabat Nabi.

Ada juga yang secara terang-terangan dengan berbagai dalil yang dibuat-buat menghalalkan perkawinan homoseksual dan perkawinan muslimah dengan laki-laki non-Muslim. Ada yang membuat-buat tafsir Al-Quran ala Yahudi dengan membuang makna teks dan menekankan aspek konteks secara serampangan.

Itulah yang dilakukan misalnya oleh Prof. Musdah Mulia dan para penulis buku Fiqih Lintas Agama yang membuang makna teks dan menggunakan aspek konteks secara amburadul, sehingga keluar keputusan hukum bahwa muslimah boleh menikah dengan laki-laki non-Muslim. (Lihat buku Muslimah Reformis karya Musdah Mulia terbitan Mizan dan buku Fiqih Lintas Agama terbitan Paramadina dan The Asia Foundation).

Padahal, cara penafsiran seperti itu benar-benar mengikuti metodologi penafsiran Bibel Yahudi. Dalam bab berjudul ‘Hebrew Scriptures’ dari buku Path Through Catholicism karya Mark Link SJ (Texas:Tabor Publishing, 1991), dijelaskan metode penafsiran Bibel Yahudi yang memisahkan antara metode tekstual dan metode kontekstual.

Orang yang menafsirkan secara tekstual/literal dijuluki sebagai kaum literalis atau fundamentalis. Paus sendiri menolak penafsiran Bibel secara tekstualis atau literalis. Menurut buku karya Mark Link itu, penafsir Bibel dibagi menjadi dua model, yakni model literalis dan kontekstualis.

Dia menulis: “Literalists interpret the Bible rigidly, saying, “It means exactly what it says”. In other words, literalists (also called fundamentalists) concern themselves with only the text of the Bible. Contextualists interpret the Bible more broadly, saying “We must consider not only the text but also the context of the Bible. In other words, we must also consider such a things as historical and cultural situation in which the Bible was written.” (hal. 22)

Model tafsir Bibel Kristen-Yahudi seperti ini, yang menajamkan aspek tekstual dan kontekstual dan menekankan aspek historisitas teks, saat ini banyak mencengkeram sebagian akademisi Muslim. Itu bisa kita lihat dalam buku-buku tentang studi Islam yang bermunculan dewasa ini.

Seorang dosen UIN Yogya yang menerbitkan disertasinya dengan judul  “Muslim-Christian Relations in The New Order Indonesia:The Exclusivist and Inclusivist Muslims’ Perspectives, (Bandung: Mizan, 2005)” membagi kaum Muslim Indonesia ke dalam dua golongan, yakni
kaum ‘Inclusivist Muslims’ dan exclusivist Muslim’.

Kaum Muslim Inklusif, kata dia, adalah mereka yang mempersepsikan Islam sebagai agama evolutif dan menerapkan metode tafsir kontekstual terhadap Al-Quran dan Sunnah. (… they perceive Islam as an evolving religion they apply a contextual reading to the Quran and sunna).

Sedangkan Muslim eksklusif adalah yang menerapkan metode penafsiran al-Quran dan Sunnah
secara literal. (They apply a literal approach in understanding the foundation texts of Islam, namely the Quran and the sunna of the Prophet).

Cara pandang disertasi di Melbourne University seperti itu adalah pola dan metode panafsiran Bibel Kristen-Yahudi, yang dipaksakan kepada Aal-Quran. Si dosen itu harusnya mengkaji dengan serius, bahwa ada perbedaan yang mendasar antara sifat teks Al-Quran dan teks Bibel. Dalam konsep Islam, teks Al-Quran adalah ‘tanzil’ yang lafaz dan maknanya dari Allah.

Teks Al-Quran bukan bikinan Nabi Muhammad saw atau bikinan manusia mana pun. Karena itu, Al-Quran adalah wahyu, Kalamullah. Ini beda dengan Bibel, yang dalam konsep Kristen sendiri dikatakan sebagai ‘teks manusiawi’, yakni teks yang ditulis oleh para penulis Bibel yang
mendapatkan inspirasi dari Roh Kudus.

Karena problem teks Bibel itulah, maka kaum Yahudi-Kristen tidak bisa menafsirkan secara tekstual, sebab memang tidak ada teks yang bisa dipegang. Teks Bibel selalu berubah dari waktu ke waktu.

Salah satu Bibel edisi bahasa Inggris yang biasanya dianggap otoritatif adalah King James Version. Tapi, sekarang pun sudah muncul New King James Version. Kita bisa bandingkan teks Bibel terbitan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) edisi 1971 dan 2004, misalnya, maka kita akan bertemu dengan begitu banyak ayat yang bukan hanya berubah teksnya, tetapi juga maknanya. Sebagai contoh, bandingkan ayat Bibel Yahudi tentang larangan keluar pada hari Sabat:

Edisi LAI tahun 1971 menyatakan: “tetapi hari yang ketudjuh itulah sabat Tuhan, Allahmu, pada hari itu djangan kamu bekerja, baik kamu, atau anakmu laki-laki, atau anakmu perempuan, atau hambamu laki-laki, atau hambamu perempuan, atau binatangmu, atau orang dagang jang ada didalam pintu gerbangmu.” 

Sedangkan dalam edisi tahun 2004 ditulis: “tetapi hari ketujuh adalah hari Sabat Tuhan, Allahmu, maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan, engkau atau anakmu laki-laki, atau anakmu perempuan, atau hambamu laki-laki, atau hambamu perempuan, atau hewanmu, atau orang asing yang ditempat kediamanmu.”.

Kekeliruan pola pikir terhadap Al-Quran yang menjiplak pola pikir Yahudi-Kristen itu bukan khas dosen UIN Yogya itu saja. Kita bisa menyimak bagaimana membanjirnya istilah-istilah asing ke dalam kosa kata studi Islam dewasa ini, seperti istilah ‘Islam fundamentalis’, ‘Islam literalis’, dan sebagainya, yang berasal dari tradisi Yahudi-Kristen.

Banyak yang latah membeo saja dalam menggunakan istilah-istilah yang lahir dalam tradisi Yahudi-Kristen tersebut, tanpa sikap kritis. Padahal, kita tidak bisa begitu saja mengambil istilah-istilah itu tanpa disesuaikan dengan makna dalam Islam.

Sebagai contoh, dalam istilah Kristen, George W. Bush biasa disebut sebagai penganut Kristen fundamentalis yang konservatif dan taat. Tetapi, tentu kita tidak bisa menyebut Bush adalah seorang Kristen salafi yang muttaqin. Masing-masing tradisi dan agama memiliki sistem
pemikiran dan istilah yang khas, yang tidak seyogyanya dijiplak begitu saja.

Masalah teks Bibel itu sangat berbeda dengan Al-Quran, sehingga cara penafsirannya pun sangat berbeda dengan Bibel. Sebagai teks manusiawi unsur historisitas sangat ditekankan dalam penafsiran. Tetapi, sebagai teks wahyu, makna kata-kata dalam teks Al-Quran adalah
terjaga dari zaman ke zaman. Karena itu, hukum-hukum Al-Quran bersifat universal, melintasi zaman dan budaya, meskipun ayat-ayat itu diturunkan di wilayah Arab pada waktu tertentu dan dengan kondisi kultural tertentu.

Ketika Al-Quran melarang minuman keras, itu bukan hanya untuk orang Arab saja, tetapi berlaku
untuk semua manusia. Kewajiban jilbab bukan hanya berlaku untuk wanita Arab abad ke-7, tetapi tetap berlaku sampai sekarang. Dan sebagainya. Salah satu buku yang sangat menekankan aspek historisitas dalam studi Islam bisa dilihat buku ‘Islamic Studies’ karya Prof. Amin Abdullah, rektor UIN Yogya, yang banyak merujuk kepada para pemikir sekular-liberal seperti Nasr Hamid Abu Zayd dan Mohammed Arkoun. 

Kini, dalam situasi dimana saudara-saudara kita di Lebanon dan Palestina dihujani bom-bom Yahudi yang mencabik-cabik tubuh wanita dan anak-anak tanpa belas kasihan sedikit pun, ada baiknya kita juga merenung sejenak, bahwa kaum Muslim di Indonesia saat ini, juga sedang dihujani dengan “bom-bom pemikiran Yahudi  yang sangat dahsyat dampaknya dalam mencabik-cabik otak sebagian sarjana agama dari kalangan umat Islam, sehingga banyak yang tanpa sadar sudah mengikuti “pola pikir Yahudi” dalam mencabik-cabik Islam dan Al-Quran.

Gara-gara otaknya keliru, memandang bahwa Al-Quran adalah produk budaya, maka seorang dosen IAIN Surabaya dengan bangga, sengaja, dan sadar menginjak lafaz Allah di hadapan para mahasiswanya. Mudah-mudahan kita senantiasa diselamatkan Allah, agar tidak terjebak dalam pola pikir dan jalan orang-orang yang dimurkai Allah. Amin. (Depok, 11 Agustus 2006/www.hidayatullah.com).


Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini adalah hasil kerjasama dengan Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com

Jumat, 28 November 2014

Makalah Fungsi Hadits Terhadap Al Qur'an

                                                                                              

BAB I
PENDAHULUAN

          Islam sebagai agama mempunyai makna bahwa Islam memenuhi tuntutan kebutuhan manusia dimana saja berada sebagai pedoman hidup baik bagi kehidupan duniawi maupun bagi kehidupan akhirat. Dimensi ajaran Islam memberikan aturan bagaimana caranya berhubungan dengan Tuhan atau khaliq, serta aturan bagaimana caranya berhubungan dengan sesama makhluk, termasuk didalamnya persoalan dengan alam.
          Allah SWT mengutus para nabi dan rasulnya kepada umat manusia untuk memberi petunjuk kepada jalan yang benar agar mereka bahagia di dunia dan akhirat. Rasulullah lahir ke dunia ini dengan membawa risalah Islam, petunjuk yang benar, hukum syara’ seperti al Qur’an dan al Hadits.
 Tidak semua ayat al Qur’an dapat dipahami secara tekstual. Al Qur’an menekankan bahwa rasul memiliki tugas untuk menjelaskan  maksud dan isi dari al Qur’an. Al-Quran dan hadits mempunyai hubungan yang sangat erat dimana keduanya tidak dapat dipisahkan meskipun ditinjau dari segi penggunaan hukum syari’at, hadis mempunyai kedudukan sederajat lebih rendah dibandingkan al Qur’an. Hadits merupakan sumber ajaran Islam yang kedua setelah al Qur’an. Keberadaan hadits dalam kehidupan masyarakat menjadi penting tatkala dalam al Qur’an tidak memberikan  penjelasan yang detail mengenai suatu permasalahan. Hal ini akan terasa sekali ketika seseorang membaca atau mendapati ayat-ayat al Qur’an yang masih sangat global, tidak terperinci, dan sering terdapat keterangan-keterangan yang bersifat tidak muqoyyad  seperti perintah  tentang  kewajiban shalat. Dalam al Qur’an tidak dijelaskan bagaimana cara seseorang untuk mendirikan shalat, berapa raka’at shalat, apa yang harus dibaca dalam shalat, dan  apa saja syarat  dan rukunnya. Akan  tetapi, dari hadist kita dapat mengetahui tata caranya sebagaimana yang telah disyariatkan. Oleh karenanya, keberadaan hadist menjadi hal yang urgen melihat fungsi umum hadist menjadi bayan atau penjelas ayat-ayat al Qur’an yang masih butuh kajian lebih dalam untuk mengetahui  makna yang sesungguhya. Jika umat islam mempunyai pengetahuan yang sedikit tentang hadist, maka akan sangat sulit bagi kita untuk menelaah lebih dalam dan memahami ayat-ayat al-Qur’an.
Terkait dengan hal diatas, maka penulis dalam  makalah ini akan menguraikan tentang apa  fungsi hadits terhadap al Qur’an dan  bagaimana pendapat para ulama tentang fungsi hadits dalam Islam.


BAB II.
PEMBAHASAN

A.  FUNGSI HADITS TERHADAP AL QURAN
Al Qur’an dan Hadits sebagai pedoman hidup sumber hukum dan ajaran Islam, tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. Al Qur’an sebagai sumber pertama memuat ajaran ajaran yang bersifat mujmal atau umum dan global sedangkan hadits sebagai sumber yang kedua berfungsi sebagai pemberi penjelasan atas keumuman isi al Qur’an tersebut. Hal ini sesuai dengan Q.S  an Nahl ayat 44:
وانزلنا اليك الذكر لتبين للناس …
Artinya: “…dan kami turunkan kepadamu Al Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia….”
Allah menurunkan Az Zikr (Al Qur’an) bagi umat manusia agar dapat dipahami, oleh karena itu maka Allah memerintahkan Rasulullah SAW untuk menjelaskannya. Dalam menetapkan hukum, umat Islam mengambil hukum hukum Islam dari al Qur’an yang diterima dari rasul SAW, yang dalam hal ini al Qur’an membawa keterangan keterangan yang bersifat mujmal atau keterangan yang bersifat mutlaq. Karena sifatnya yang mujmal, maka banyak hukum dalam al Qur’an yang tidak dapat dijalankan bila tidak diperoleh syarah atau penjelas yang terkait  dengan syarat- syarat, rukun-rukun, batal-batalnya dan  lain lain dari hadits Rasulullah SAW. Dalam hal ini banyak juga kejadian yang tidak ada nash yang menashkan hukumnya dalam al Qur’an secara tegas dan jelas. Oleh karena itu diperlukan ketetapan dan penjelasan nabi yang telah diakui utusan Allah untuk menyampaikan syariat dan undang undang kepada umat .
Firman Allah :

لقد هن الله على الموءمنين اذابعث فيهم رسولامن انفسهم يتلواعليهم ءا يته و يزكيهم ويعلمهم الكتبو الحكمة وان كانوا من قبل لفى ضلل مبين
Artinya:  ”Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al Kitab dan al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata”.
(Q.S: Ali Imran Ayat: 164).

Jumhur ulama  berpendapat bahwa kata hikmah diatas berarti keterangan keterangan agama yang diberikan Allah kepada Nabi mengenai hikmat dan hukum yang disebut sunnah atau hadits.[1]
Hadits adalah sumber kedua bagi hukum hukum Islam, menerangkan segala yang dikehendaki al Qur’an, sebagai penjelas, pensyarah, penafsir, pentahsis, pentaqyid dan yang mempertanggungkan kepada yang bukan zahirnya.
Para ulama sepakat menetapkan bahwa hadits berkedudukan dan berfungsi untuk menjelaskan al Qur’an.[2] Banyak ayat al Qur’an dan hadist Rasulullah SAW yang memberikan penegasan bahwa hadist merupakan sumber hukum Islam selain al Qur’an yang wajib diikuti.
a)  Dalil al Qur’an
قل اطيعوا الله و الر سول فاءن تولوا فاءن الله لا يحب الكا فرين
Artinya: ”Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir". (Q.S. al Imran: 32)
b)   Hadits Rasulullah SAW.
تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما كتاب الله و سنة نبيه
Artinya: “Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian yang kalian tidak akan tersesat selagi kamu berpegang teguh pada keduanya, yaitu berupa kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya”.
 Berdasarkan ayat diatas, hadits merupakan  salah satu sumber pegangan kita dalam menjalani kehidupan ini yang harus kita ikuti agar kita bahagia hidup di dunia dan di akherat. Hal ini juga ditunjukkan oleh hadits Muadz,  juga sikap khulafaur rasyidun, bahwa hukum syara’ pertama tama di dapat dari al Qur’an, kalau tidak ditemukan di dalamnya, dicari dari sunnah atau hadits.[3]
Sehubungan dengan hadits sebagai bayan alQur’an, maka hadits  memiliki  4 macam  fungsi    terhadap al Qur'an yaitu:[4]
1. Sebagai Bayanul Taqrir.
            Dalam hal ini posisi hadits sebagai taqrir (penguat) yaitu menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan dalam al Qur’an. Fungsi hadits disini hanya memperkokoh isi kandungan al Quran. Seperti hadits tentang shalat, zakat, puasa dan haji, merupakan penjelasan dari ayat shalat, ayat zakat, ayat puasa dan ayat haji yang tertulis dalam al Qur'an.
Contoh: Hadits Nabi tentang melihat bulan untuk puasa Ramadhan

صو مو ا لرءويته و افطروالرءويته
Artinya: ”Berpuasalah kamu sesudah melihat bulan dan berbukalah kamu sesudah melihatnya”. (HR. Muttafaq alaih).
Hadits ini menguatkan firman Allah SWT

فمن شهد منكم الشهر فليصمه
Artinya: ”Barangsiapa diantara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah”. (Q.S. Al  Imran: 185)
Hadits di atas dikatakan  bayan taqrir terhadap ayat al Qur'an, karena maknanya sama dengan al Qur'an, hanya lebih tegas ditinjau dari bahasanya maupun hukumnya.

2.Sebagai Bayanul Tafsir

            Dalam hal ini hadits berfungsi memberikan perincian dan penafsiran terhadap ayat ayat   al Qur'an. Hadits sebagai tafsir terhadap al Qur'an terbagi setidaknya menjadi 3 macam fungsi, yaitu:[5]
a. Menjelaskan ayat ayat yang mujmal.
Hadis disini berfungsi  menjelaskan  segala sesuatu yang berhubungan dengan ibadah dan hukum hukumnya dari segi praktik,  syarat, waktu  dan tata caranya seperti dalam masalah shalat.
 Ayat-ayat al Qur'an tentang masalah tersebut masih bersifat mujmal, baik mengenai cara mengerjakan, sebab-sebabnya, syarat-syarat, ataupun halangan-halangannya. Oleh karena itulah, Rasulullah SAW melalui hadisnya menafsirkan dan menjelaskan seperti disebutkan dalam hadis
 صلوا كما رايتمونى اصلى

Artinya: “Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat“ ( HR Ahmad dan Bukhari dari Malik bin  Al Huwairits).
            Hadis ini menerangkan kemujmalan al Qur’an tentang shalat, firman Allah SWT.
واقيمواالصلاة واتوا الزكاة واركعوا مع الر كعين
Artinya: “ Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’ (Q.S. al-Baqarah:  43).
Contoh lainnya yaitu hadits  dalam hal pelaksanaan  ibadah haji wada’ Rasulullah SAW bersabda:
خذوا عنى منا سككم
Artinya: ”Ambilah dariku manasik hajimu”. ( HR. Muslim, Abu Daud dan An Nasa’i).
Hadits ini merincikan kemujmalan firman Allah SWT sebagai berikut:

واتموا الحج والعمرة لله
Artinya: ”Sempurnakanlah ibadah haji dan ibadah umrahmu karena Allah”. (Q.S. al Imran: 196)
b. Menghususkan ayat ayat al Qur’an yang  bersifat umum .
              Dalam hal ini hadits memperkhusus ayat-ayat al Qur'an yang bersifat umum, dalam ilmu hadis disebut takhshish al ‘amm.[6] Takhshîsh al-’âm ialah sunnah yang mengkhususkan atau mengecualikan ayat yang bermakna umum.
Sabda Rasululah SAW:

احلت لنا ميتتان و د مان فا ما الميتتان الحوت والجراد و اما الدمان فاالكبد والطحال
.
Artinya: ”Telah dihalalkan kepada kita dua macam bangkai dan dua macam darah. Yang dimaksud dua macam bangkai adalah bangkai ikan dan bangkai belalang. Sedangkan yang dimaksud dua macam darah adalah hati dan limpa”.  (Hadits Riwayat Ahmad, Ibnu Majah dan Al-Baihaqi).
Hadits ini mentahsis  ayat al Qur'an yang mengharamkan semua bangkai dan darah, sebagaimana firman Allah SWT :
حرمت عليكم الميتة والدم ولحم الحنزير
Artinya: ”Diharamkan atasmu bangkai, darah dan daging babi” (Q.S. al Maidah: 3).
            Dalam ayat ini tidak ada pengecualian bahwa semua bangkai dan darah diharamkan untuk dimakan akan tetapi  Sunnah Rasulullah SAW di atas mentakhshish atau mengecualikan darah dan bangkai tertentu.
Sabda Rasul SAW:
لا يرث المسلم الكافر ولا الكا فر المسلم
 Artinya: ”Seorang muslim tidak mewarisi orang kafir dan yang kafir tidak mewarisi seorang muslim”.(HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Hadits ini mentahsis firman  Allah SWT:
يوصيكم الله في اولا دكم للذكر متل حص الا نثيين
 Artinya: ”Allah mewasiatkan bahwa hak anakmu laki-laki adalah dua kali hak anakmu yang perempuan”. (Q.S. An Nisa: 11).
            Dalam ayat ini tanpa kecuali atau berlaku umum bahwa semua anak mendapat warisan. Sedangkan keberlakuan hukum tersebut hanya untuk anak yang agamanya sama muslim. Sunnah Rasul memberikan takhshish atau pengcualian dengan sabdanya di atas:
c. Membatasi lapaz yang masih mutlaq dari ayat ayat al Qur'an (Sebagai Bayanul Muthlaq).

          Hukum yang ada dalam al Qur'an bersifat mutlak amm (mutlak umum), maka dalam hal ini hadits membatasi kemutlakan hukum dalam al Qur'an.  Sedangkan contoh hadits yang membatasi (taqyid) ayat-ayat al Qur’an yang bersifat mutlak adalah seperti Sabda Rasullullah:

 أتي رسول الله صلى الله عليه و سلم بسارق فقطع يده من مفصل الكف
Artinya: ”Rasullullah didatangi seseorang dengan membawa pencuri, maka beliau memotong tangan pencuri dari pergelangan tangan”.
Hadits ini men-taqyid  firman Allah yang berbunyi:
والسارق و السارقة فاقطعوا أيديهما جزاء بما كسبا نكالامن الله و الله عزيز حكيم
Artinya: ”Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan, dan sebagai siksaan dari Allah sesungguhnya Allah maha Mulia dan Maha Bijaksana”.( Q.S. al Maidah: 58).
   Dalam ayat di atas belum ditentukan batasan untuk memotong tangannya. Boleh jadi dipotong sampai pergelangan tangan saja, atau sampai siku-siku, atau bahkan dipotong hingga pangkal lengan karena semuanya itu termasuk dalam kategori tangan.  Akan tetapi, dari hadist nabi tersebut, kita dapat mengetahui ketetapan hukumnya secara pasti yaitu memotong tangan pencuri dari pergelangan tangan.
3. Sebagai Bayanul Naskhi
Dalam hal ini hadits berfungsi sebagai penghapus hukum yang diterangkan dalam al Qur'an. Contoh hadist yang berfungsi sebagai bayan al-nasakh :
لا وصية لوارث
Artinya: ”Tidak ada wasiat bagi ahli waris”.
Hadist ini menghapus ketentuan hukum dalam al Qur’an tentang diperbolehkannya wasiat kepada ahli waris, sebagaimana  firman Allah :

كتب عليكم إذا حضر أحدكم الموت إن ترك خيرا الوصية للوالدين و الأقربين بالمعروف حقا على المتقين
Artinya: ”Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapa dan karib kerabatnya secara ma’ruf (ini adalah kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa”. (Q.S. al-Baqarah: 180).
Kata an-nasakh dari segi bahasa memiliki bermacam-macam arti, yaitu al-itbat (membatalkan) atau al-ijalah (menghilangkan), atau taqyir (mengubah). Para ulama mengartikan bayan an-nasakh ini melalui pendekatan bahasa, sehingga di antara mereka terjadi perbedaan pendapat dalam mentaqrifkannya. Hal ini pun terjadi pada kalangan ulama muta’akhirin dengan ulama mutaqaddimin. Menurut ulama mutaqqaddimin, yang disebut bayan an-nasakh ialah adanya dalil syara’ (yang dapat menghapus ketentuan yang telah ada), karena datangnya kemudian.[7]        
Dalam hal bayan nasakh ini terdapat silang pendapat diantara para ulama. Ada yang berpendapat boleh dan ada yang berpendapat tidak boleh. Mazhab Hanapi termasuk kelompok yang membolehkan nasakh sunnah terhadap hukum ayat.[8] Sedangkan ulama ushul berpendapat bahwa hukum dalam al Qur’an dapat dihapus oleh hukum dalam hadits dan sebaliknya.[9] Adapun Imam syafi’i berpendapat bahwa  al Qur’an tidak dapat dihapus oleh hadits.[10]
Dari pengertian di atas jelaslah bahwa ketentuan yang datang kemudian dapat menghapuskan ketentuan yang datang terdahulu. Hadis sebagai ketentuan yang datang kemudian dari al Qur’an dalam hal ini, dapat menghapus ketentuan dan isi kandungan al Qur’an. Demikianlah menurut ulama yang menganggap adanya fungsi bayan an-nasakh.

4. Sebagai Bayanul Tasyri'
            Bayan at tasyri’ adalah menetapkan  hukum atau   aturan aturan yang tidak didapati dalam al Qur’an. Hal ini berarti bahwa  ketetapan  hadits  itu   merupakan ketetapan  yang bersifat  tambahan  hal-hal  yang  tidak disinggung  oleh alQur’an dan hukum hukum itu  hanya berasaskan  hadis semata mata.
            Hadis Rasulullah SAW dalam segala bentuknya (baik yang qauli, fi’il maupun taqriri) berusaha menunjukkan suatu kepastian hukum terhadap berbagai persoalan yang tidak terdapat dalam al Qur’an. Beliau berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para sahabat atau yang tidak diketahuinya, dengan memberikan bimbingan dan menjelaskan persoalannya.
Suatu contoh hadis tentang zakat fitrah sebagai berikut:

أن الرسول الله صلى الله عليه و سلم فرض زكاة الفطر من رمضان على الناس صاعا من تمر أو صاعا من شعير على كل حر أو عبد ذكر أو أنثى من المسلمين  (رواه المسلم )
Artinya: ”Bahwasanya Rasulullah telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulan ramadhan satu sukat (sha’) kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuam muslim”.(HR. Muslim).
     Hadits Rasulullah yang termasuk bayan al-tasyri’ ini, wajib diamalkan, sebagaimana mengamalkan hadits-hadits lainnya.


B. PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG FUNGSI HADITS DALAM ISLAM
Sehubungan dengan fungsi hadist sebagai penjelas terhadap al Qur’an tersebut, para ulama berbeda pendapat dalam merincinya lebih lanjut.[11]
      a.   Pendapat Ahl ar-Ra’yi .
    Menurut pendapat Ulama Ahl ar-Ra’yi, penerangan al Hadits terhadap al Qur’an terbagi menjadi tiga yaitu:
1.   Bayan Taqrir
Yakni keterangan yang didatangkan  oleh as-Sunnah untuk menambah kokoh apa yang telah diterangkan oleh al Qur’an.
2.  Bayan Tafsir
Yakni menerangkan apa yang kira-kira tidak mudah diketahui pengertiannya yaitu   ayat-ayat yang mujmal dan mustarak fihi.
3.   Bayan Tabdil, Bayan Nasakh
  Yakni mengganti sesuatu hukum atau menasakhkannya. Menasakhkan al Qur’an dengan al Qur’an menurut Ulama Ahl ar-Ra’yi, boleh. Menasakhan al Qur’an dengan as-Sunnah itu boleh jika as-Sunnah itu  mutawatir, masyhur, atau mustafidh.[12]
b.   Pendapat Malik
Malik berpendirian bahwa bayan (penerangan) al Hadits itu terbagi menjadi lima yaitu:
1.   Bayan at-Taqrir
Yakni metetapkan dan mengokohkan hukum-hukum al Qur’an, bukan mentaudhihkan, bukan mentaqyidkan muthlaq dan bukan mentakhsihkan ‘aam.
2.  Bayan at-Taudhih (Tafsir)
Yakni menerangkan maksud-maksud ayat, seperti hadits-hadits yng menerangkan maksud ayat yang dipahami oleh para sahabat berlainan dengan yang dimaksudkan oleh ayat.

3.  Bayan at-Tafshil
Yakni menjelaskan mujmal al Qur’an, sebagai hadits yang men-tafshil-kan kemujmalan.
4.   Bayan Tasyri’
Yakni mewujudkan suatu hukum yang tidak tersebut dalam al Qur’an, seperti menghukum dengan bersandar kepada seorang saksi dan sumpah apabila si mudda’i tidak mempunyai dua orang saksi, dan seperti ridha’ (persusuan) mengharamkan pernikahan antara keduanya.
c.  Pendapat As-Syafi’i
As-Syafi’i di antara Ulama Ahl al-Atsar menetapkan, bahwa penjelasan al Hadits terhadap al Qur’an dibagi terbagi lima, yaitu:
1.  Bayan Tafshil, menjelaskan ayat-ayat yang mujmal yang sangat ringkas petunjuknya
2.  Bayan Takhsish, menentukan sesuatu dari umum ayat.
3.  Bayan Ta’yin, menentukan nama yang dimaksud dari dua      tiga perkara yang mungkin dimaksudkan.
4.  Bayan Tasyri’, menetapkan suatu hukum yang tidak didapati dalam al Qur’an.
5.  Bayan Nasakh, menentukan mana yang dinasikhkan dan mana yang dimansukhkan dari  ayat-ayat al Qur’an.
d. Pendapat hambali
1.  Bayan Ta’kid yaitu Menerangkan apa yang dimaksudkan oleh al Qur’an.
2.  Bayan Tafsir yaitu Menjelaskan sesuatu hukum dalam al Qur’an.
3. Bayan Tasyri’ yaitu Mendatangkan suatu hukum yang tidak ada hukumnya dalam al Qur’an.
4. Bayan Takhsish dan Taqyid  yaitu  Mengkhususkan al Qur’an dan mentaqyidkannya.
Berdasarkan uraian di atas, maka hadis merupakan dasar hukum Islam setelah al Qur’an. Umat Islam harus mengikuti petunjuk hadis sebagaimana dituntut untuk mengikuti petunjuk al Qur'an. Allah memerintahkan kita mengikuti Rasul sebagaimana mentaati Allah. Firman Allah:
وما اتا كم الر سول فخذو ه ومانهاكم عنه فانتهو
Artinya:  ”Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah”. (Q.S. al Hasyr: 7)
واطيعوا الله و الرسول لعلكم ترحمون
Artinya: ”Dan taatilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat. (Q.S ali Imran:132)
Mengikuti rasul, atau menjalankan perintahnya dan menjauhi larangannya adalah mengikuti sunnahnya atau haditsnya yang berupa perkataan, perbuatan taqrir dan sebagainya.Wajib mengikuti rasul merupakan kewajiban  dan berlaku untuk semua umat untuk seluruh masa dan tempat. Oleh karena itu semua hadis yang diakui sahih dan tidak berlawanan dengan suatu petunjuk al Qur'an sama sama wajib diikuti oleh semua umat.



BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan.
1. Al Qur'an dan Hadits adalah sebagai pedoman hidup, sumber hukum dan ajaran dalam Islam, antara satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan. Dengan kata lain, hadist adalah sumber hukum Islam kedua setelah al Qur’an. Hadits sebagai penjelas (bayan) terhadap al Qur’an mempunyai empat(4) macam fungsi, yaitu:
a.   Bayan al-taqrir di sebut juga dengan bayan al-ta’qid dan bayan al-isbat yaitu   menetapkan dan memperkuat apa yang telah di terangkan dalam al Qur’an
b.  Bayan al-tafsir adalah fungsi hadits yang memberikan rincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat al Qur’an yang masih bersifat global (mujmal), memberikan persyaratan atau batasan (taqyid)  ayat-ayat al Qur’an yang bersifat mutlak, dan mengkhususkan (takhshish) ayat al Qur’an yang masih bersifat umum.
c.  Bayan at-tasyri’ adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam al Qur’an atau dalam al Qur’an hanya terdapat pokok-pokoknya saja
d. Bayan at-nasakh yaitu penghapusan hukum Syar'i dengan suatu dalil syar'i  yang datang kemudian
2. Pendapat Para Ulama Tentang Fungsi Hadits Dalam Islam
a.  Menurut Pendapat Ahl ar-Ra’yi  meliputi bayan taqrir, bayan tafsir, bayan tabdil/bayan nasakh.
b.   Menurut Pendapat Malik meliputi  bayan at-taqrir, bayan at taudlih, bayan tafshil, bayan tasyri’.
c.   Menurut  Pendapat Asy-Syafi’y meliputi   bayan Tafshil, bayan Takhsish,   bayan Ta’yin,  bayan Tasyri’,   bayan Nasakh,
d.  Menurut Pendapat Imam Hambali meliputi bayan ta’kid, bayan tafsir, bayan tasyri’, bayan takhsish dan taqyid
DAFTAR PUSTAKA

Al Albani, M Nashiruddin. Ringkasan Shahih Bukhari (Jakarta: Gema Insani, 2003).

Al Maliki, M Alawi. Ilmu Ushul Hadits  (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006).

Al Qardhawi, Yusuf. Pengantar Studi hadit  (Bandung: Pustaka Setia, 2007).

B Smeer,  Zeid. Ulumul Hadis Pengantar Studi Hadis Praktis (UIN Malang Press, 2008).

Departemen Agama RI. Al-Quran dan Terjemahannya  (Jakarta: Departemen Agama RI    2008).

Khaeruman, Badri. Ulum Al Hadis  (Bandung: Pustaka Setia, 2009).

Mudasir, Ilmu Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 1999).

Muhaimin dkk. Studi Islam Dalam Rangka Dimensi dan Pendekatan (Jakarta: Kencana, 2012).


[1]  Badri Khaeruman, Ulum Al Hadis  (Bandung:  Pustaka Setia,  2009),  h. 46.
[2]  Ibid
[3]  Yusuf Al Qardhawi, Pengantar Studi hadits  (Bandung:  Pustaka Setia,  2007),  h. 105.
[4]  Mudasir, Ilmu Hadis  (Bandung:  Pustaka Setia, 1999),  h. 76.
[5]  M. Alawi Al Maliki, Ilmu Ushul Hadits  ( Yogyakarta:  Pustaka Pelajar,  2006),  h. 10.
[6]   Muhaimin. dkk.,  Studi Islam dalam Rangka Dimensi dan Pendekatan,  (Jakarta: Kencana, 2012),  h. 135.
[7] Ibid.
[8] Zeid B. Smeer, Ulumul Hadis Pengantar Studi Hadis Praktis  (Malang: UIN Malang Press, 2008),  h. 17.
[9]  Muhaimin. dkk,  Studi Islam ...,  h. 141.
[10]  Ibid.
[11] Badri Khaeruman,  Ulumul...,  h. 48.
[12] Ibid.

https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=8554685336009398913#editor/target=post;postID=896999227773635186;onPublishedMenu=posts;onClosedMenu=posts;postNum=1;src=postname