MAKALAH
PENDEKATAN KAJIAN ISLAM
EPISTEMOLOGI KEILMUAN ISLAM
BAYANI, BURHANI DAN IRFANI
(Diajukan Sebagai Tugas Individu Pada
Mata Kuliah Pendekatan Kajian Islam)
Dosen Pengampu
Dr. Suprapto , MA
Zahraini
Nim. 154141036
Nim. 154141036
PASCA SARJANA
JURUSAN PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI MATARAM
TAHUN AKADEMIK
2014/2015
BAB I
PENDAHULUAN
Ilmu pengetahuan dan teknologi yang hingga saat ini menjadi kunci yang paling mendasar dari kemajuan yang diraih umat manusia, tentunya tidak datang begitu saja tanpa ada sebuah dinamika atau diskursus ilmiah. Proses untuk mendapatkan ilmu pengetahuan itulah lazim dikenal dengan istilah epistemologis.
Lebih lanjut Ahmad Tafsir mengungkapkan bahwa Epistemologi membicarakan sumber ilmu pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, epistemologis ini menempati posisi yang sangat strategis, karena ia membicarakan tentang cara untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Mengetahui cara yang benar dalam mendapatkan ilmu pengetahuan berkaitan erat dengan hasil yang ingin dicapai yaitu berupa ilmu pengetahuan. Pada kelanjutannya kepiawaian dalam menentukan epistemologis, akan sangat berpengaruh pada warna atau jenis ilmu pengetahuan yang dihasilkan.
Sejarah telah mencatat bahwa peradaban Islam pernah menjadi kiblat ilmu pengetahuan dunia sekitar abad ke-7 sampai abad ke-15. Setelah itu, masa keemasan itu mulai melayu, statis, bahkan mundur hingga abad ke-21 ini. Hal itu terjadi, karena Islam dalam kajian pemikirannya paling tidak menggunakan beberapa aliran besar dalam kaitannya dengan teori pengetahuan (epistemologi). Setidaknya ada tiga model sistem berpikir dalam Islam, yakni bayani, irfani dan burhani yang masing-masing mempunyai pandangan yang berbeda tentang pengetahuan.
Selain sebagai instrumen untuk mencari kebenaran, ketiga epistemologi tersebut juga bisa digunakan sebagai sarana identifikasi cara berfikir seseorang. Seorang filosof dengan corak berfikir burhani akan menjawab bahwa sumber kebenaran itu dari akal atau panca indera. Dengan kedua sarana ini manusia memunculkan dua dikotomi antara apa yang disebut rasional dan irrasional. Rasional adalah sebuah kebenaran, sebaliknya irrasional adalah sebuah kesalahan. Selanjutnya orang yang memiliki corak berfikir bayani akan menjawab bahwa sumber kebenaran itu dari teks. Rasio tidak memiliki tempat dalam pembacaan mereka terhadap kebenaran. Ketercukupan golongan ini terhadap teks memasukkan mereka pada golongan fundamental literalis. Sedangkan orang yang memiliki corak berfikir irfani akan menjawab bahwa sumber kebenaran itu dari wahyu, ilham, wangsit dan sejenisnya. Pola berfikir demikian akan membangun sebuah struktur masyarakat yang memiliki hirarki atas bawah. Untuk lebih memahami mengenai bayani, Burhani dan Irfani penulis akan menjelaskannya dalam makalah ini.Terkait dengan hal diatas maka rumusan masalah yang diangkat dalam hal ini adalah:
1. Apa definisi epistemologi, epistemologi bayani, burhani dan irfani?
2. Bagaimana metode berfikir bayani, burhani dan irfani?
3. Apakah keunggulan dan kelemahan metode berfikir bayani, burhani dan irfani?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi epistemologi, epistemologi bayani, burhani dan irfani.
1. Definisi epistemologi
Secara etimologi kata epistemologi berasal dari bahasa yunani yaitu episteme dan logos. Episteme berarti pengetahuan sedangkan logos berarti teori. Jadi epistemologi adalah sebuah teori tentang pengetahuan, atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan Theory of Knowledge.
Secara terminologi, Dagobert D. Runes dalam bukunya, Dictionary of Philoshopy, yang dikutip Armai Arief, mengatakan bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki tentang keaslian pengertian, struktur, mode dan validasi pengetahuan. Pendapat lain dikemukakan oleh D.W. Hamlyan, sebagaimana yang dikutip Mujamil, yang mendefinisikan epistemologi sebagai cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, dasar dan pengandaian-pengandaiannya, serta secara umum hal itu dapat diandalkan sebagai penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan. Dengan demikian maka epistemologi adalah sebuah ilmu yang mempelajari hal-hal yang bersangkutan dengan pengetahuan dan dipelajari secara substantif. Oleh karena itu, epistemologi bersangkutan dengan masalah-masalah:
a. Filsafat, sebagai cabang ilmu dalam mencari hakikat dan kebenaran pengetahuan.
b. Metode, memliliki tujuan untuk mengantarkan manusia mencapai pengetahuan.
c. Sistem, bertujuan memperoleh realitas kebenaran pengetahuan.
Epistemologi atau filsafat pengetahuan pada dasarnya juga merupakan suatu upaya secara rasional untuk menimbang dan menentukan nilai kognitif pengalaman manusia dalam interaksinya dengan diri, interaksi dengan lingkungan sosial, dan juga interaksinya dengam alam sekitarnya. Oleh karena itu, epistemologi juga disebut sebagai suatu disiplin yang bersifat evaluatif, normatif, dan kritis. Evaluatif berarti menilai. Ia menilai apakah suatu kenyakinan, sikap, pernyataan pendapat, dan teori pengetahuan dapat dibenarkan, dijamin kebenarannya, atau memiliki dasar yang dapat dipertanggung jawabkan secara nalar. Normatif berarti menentukan norma atau tolak ukur. Dalam hal ini adalah tolak ukur kenalaran bagi kebenaran pengetahuan.
Epistemologi sebagai cabang ilmu filsafat tidak cukup hanya memberi deskripsi atau paparan tentang bagaimana proses manusia mengetahui itu terjadi, tetapi perlu juga membuat penentuan mana yang betul dan mana yang salah berdasarkan norma empirik. Sedangkan kritis berarti banyak mempertanyakan dan menguji kenalaran, cara maupun hasil kegiatan manusia mengetahui.
2. Definisi Epistemologi Bayani.
Kata bayani berasal dari bahasa Arab yaitu al bayani yang secara harfiah bermakna sesuatu yang jauh atau sesuatu yang terbuka. Adapun secara terminologi al bayan adalah ilmu baru yang dapat menjelaskan sesuatu atau ilmu yang dapat mengeluarkan sesuatu dari kondisi samar kepada kondisi jelas.
Dalam kajian Islam epistemologi bayani adalah pendekatan dengan cara menganalisis teks. Maka sumber epistemologi bayani adalah teks. Sumber teks dalam studi Islam dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni teks nash (al-Qur`an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW) dan teks non-nash berupa karya para ulama. Fungsi akal dalam hal ini hanya sebagai pengawal makna yang terkandung di dalamnya yang digali lewat inferensi (istidlal).
Oleh karena itu, secara langsung bayani adalah memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran Namun secara tidak langsung bayani berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. Meski demikian hal ini tidak berarti akal bisa bebas menentukan makna dan maksudnya. Tetapi tetap harus bersandar pada teks. Sehingga dalam bayani, akal tidak mampu memberikan pengetahuan kecuali disandarkan pada teks. Dalam perspektif keagamaan, sasaran bidik metode bayani adalah aspek eksoterik (syari’at).
3. Definisi Epistemologi Burhani.
Dalam bahasa Arab, al-burhan berarti argument (al-hujjah) yang jelas (al-bayyinah; clear) dan distinc (al-fashl), yang dalam bahasa inggris adalah demonstration, yang mempunyai akar bahasa Latin: demonstration (berarti member isyarat, sifat, keterangan, dan penjelasan). Dalam perspektif logika (al-mantiq), burhani adalah aktivitas berpikir untuk menetapkan kebenaran suatu premis melalui metode penyimpulan (al-istintaj), dengan menghubungkan premis tersebut dengan premis yang lain yang oleh nalar dibenarkan atau telah terbukti kebenarannya (badlihiyyah). Sedang dalam pengertian umum, burhani adalah aktivitas nalar yang menetapkan kebenaran suatu premis.
Istilah burhani yang mempunyai akar pemikiran dalam filsafat Aristoteles ini, digunakan oleh al-Jabiri sebagai sebutan terhadap sebuah system pengetahuan (nidlam ma’rifi) yang menggunakan metode tersendiri di dalam pemikiran dan memiliki pandangan dunia tertentu, tanpa bersandar kepada otoritas pengetahuan lain.
Burhani, baik sebagai metodologi maupun sebagai pandangan dunia, lahir dalam alam pikiran Yunani, tepatnya dibawa oleh Aristoteles yang kemudian terbahas secara sistematis dalam karyanya Organon, meskipun terminology yang digunakan berbeda. Aristoteles menyebutkan dengan metode analitis (tahlili) yakni metode yang menguraikan pengetahuan sampai ditemukan dasar dan asal-usulnya, sedangkan muridnya sekaligus komentator utamanya yang bernama Alexander Aphrodisi memakai istilah logika (mantiq), dan ketika masuk ke dunia Arab Islam berganti nama menjadi burhani.
4. Definisi epistemologi irfani
Irfani merupakan bahasa arab yang memiliki dua makna asli yaitu sesuatu yang berurutan yang sambung satu sama lain dan bermakna diam dan tenang. Namun secara harfiah al irfan adalah mengetahui sesuatu dengan berfikir dan mengkaji secara dalam. Dengan demikian al irfan lebih khusus dari pada al-‘ilm. Secara terminologi irfani adalah pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakekat oleh tuhan kepada hambanya (al-kasyf) setelah melalui riyadah. Contoh kongkrit dari pendekatan irfani lainnya adalah falsafah isyraqi yang memandang pengetahuan diskursif (al-hikmah al-batiniah) harus dipadu secara kreatif harmonis dengan pengetahuan intuitif (al-hikmah al-zawqiyah).
Dengan pemaduan tersebut pengetahuan yang diperoleh menjadi pengetahuan yang mencerahkan bahkan akan mencapai al-hikmah al-haqiqiyah. Pengalaman bathin Rasulullah SAW dalam menerima wahyu al-Qur’an merupakan contoh kongkrit dari pengetahuan irfani.
Dapat dikatakan meski pengetahuan irfani bersifat subyektif, namun semua orang dapat merasakan kebenarannya. Artinya setiap orang dapat melakukan dengan tingkatan dan kadarnya sendiri sendiri, maka validitas kebenarannya bersifat intersubyektif dan peran akal bersifat partisipatif.
B. Metode berfikir Bayani, Burhani dan Irfani.
1. Metode berfikir bayani.
Untuk mendapatkan pengetahuan, epistemologi bayani menempuh dua cara yaitu pertama berpegang pada redaksi (lapazh) teks dengan menggunakan kaidah bahasa Arab seperti nahwu dan sharaf sebagai alat analisa. Kedua, Menggunakan metode qiyas (analogi) dan inilah prinsip utama epistemologi bayani. Dalam kaidah ushul fiqh, qiyas diartikan sebagai memberikan keputusan hukum suatu masalah berdasarkan masalah lain yang telah ada kepastian hukumnya dalam teks, karena adanya kesamaan illah.
Ada beberapa hal yang harus dipenuhi dalam melakukan qiyas, yaitu:
a. Adanya al ashl yakni nash suci yang memberikan hukum dan dipakai sebagai ukuran.
b. Al-Far yaitu sesuatu yang tidak ada hukumnya dalam nash.
c. Hukum al-ashl yaitu ketetapan hukum yang diberikan oleh ashl.
d. Illah yaitu keadaan tertentu yang dipakai sebagai dasar penetapan hukum ashl.
Contoh qiyas adalah soal hukum meminum arak dari kurma. Arak dari perasan kurma disebut far` (cabang) karena tidak ada ketentuan hukumnya dalam nash, dan ia akan diqiyaskan pada khamr. Khamr adalah ashl (pokok) sebab terdapat dalam teks (nash) dan hukumnya haram, alasannya (illah) karena memabukkan. Hasilnya arak adalah haram karena ada persamaan antara arak dan khamr yakni sama-sama memabukkan.
Menurut Al-Jabiri, metode qiyas sebagai cara mendapatkan pengetahuan dalam epistemologi bayani tersebut digunakan dalam tiga aspek, yaitu:
a. Qiyas jail mempunyai persoalan hukum yang kuat dibanding ashl.
b. Qiyas fi makna an nash dimana ashl dan far memiliki derajat hukum yang sama.
c. Qiyas al kahfi dimana illat ashl tidak diketahui secara jelas dan hanya menurut perkiraan mujtahid.
Pendekatan bayani meliputi 1. Origin (sumber) yaitu nash/ teks/wahyu (otoritas teks dan otoritas salaf). 2. Metode (proses dan prosdur) yaitu ijtihad dan qiyas. 3. Approach yaitu lughawiyah (bahasa). 4. Theoretical framework (kerangka teori) yaitu al ashl al-far dan al- lafz al ma’na. 5. Fungsi dan peran meliputi akal sebagai pengekang/pengatur hawa nafsu justifikatif refetitif ihqlidiydan al-aql al-diniy. 6. Types of argument yaitu dialektik dan pengaruh pola logika stoia (tolak ukur bukan logika Aristoteles). 7. Tolak ukur validitas keilmuan yaitu kedekatan antara teks atau nash dan realitas. 8. Prinsip-prinsip dasar yaitu atomistic, tidak ada hukum kausalitas dan analogi deduktif, qiyas. 9. Kelompok ilmu ilmu pendukung yaitu kalam, fiqih, nahwu. 10. Hubungan subyek dan obyek yaitu subjecvite (theistic dan fedeistic subjectivism).
Dalam aplikasinya,pendekatan bayani akan memperkaya ilmu fiqih dan ushul fiqih, lebih lebih qawaidul lughahnya. Namun hal itu bearti bukan tanpa kelemahan. Kelemahan mencolok pada nalar bayani adalah ketika harus berhadapan dengan teks teks yang berbeda.
Karena otoritas ada pada teks dan rasio hanya berfungsi sebagai pengawal teks, sementara sebuah teks belum tentu diterima oleh golongan lain, maka ketika berhadapan, nalar bayani menghasilkan sikap mental yang dogmatis, defensif dan apologetik dengan semboyan kurang lebih “right or wrong is my country”.
2. Metode berfikir burhani.
Untuk mendapatkan sebuah pengetahuan burhani menggunakan silogisme. Mengikuti Aristoteles, Aristoteles menjelaskan silogisme dengan cara yang berbeda dengan metode silogisme yang telah disebutkan sebelumnya. Model silogisme Aristoteles sering disebut silogisme katagorik karena semua proposisinya katagorik. Silogisme terdiri dari beberapa komponen yaitu premis mayor, premis minor dan kesimpulan.
Penarikan kesimpulan dengan silogisme ini harus memenuhi beberapa syarat yaitu
a. Mengetahui latar belakang dari penyusun premis.
b. Adanya konsistensi logis anatara alas an dan kesimpulan.
c. Kesimpulan yang diambil harus bersifat pasti dan benar.l
Di dalam istilah yang digunakan oleh skolastik terdapat beberapa bentuk silogisme:
a. Bentuk pertama, term tengah (middle term) menjadi subyek pada premis mayor dan menjadi predikat pada premis minor.
Contoh:
1). Semua manusia fana (premis mayor).
Sokrates adalah seorang manusia (premis minor).
Sokrates fana(kesimpulan).
Model ini disebut Barbara
2). Tak akan ada ikan yang rasional.
Semua hiu adalah ikan.
Tak ada hiu yang rasional.
Model ini disebut calerent.
3). Tak ada orang yunani berkulit hitam.
Sebagian manusia adalah orang yunani.
Sebagian manusia tak berkulit hitam.
Model ini disebut ferio.
b. Bentuk kedua, term tengah (middle term) menjadi predikat pada premis mayor dan premis minor.
Contoh: Semua tumbuhan membutuhkan air.
Tidak satupun benda mati membutuhkan air.
Tidak satupun benda mati adalah tumbuhan.
c. Bentuk ketiga, term tengah (middle term) menjadi subyek pada premis mayor dan premis minor.
Contoh: Setiap manusia mempunyai rasa takut. Tetapi setiap manusia adalah makhluk hidup. Sebagian makhluk hidup mempunyai rasa takut.
Dengan landasan logika Aristoteles, beberapa metode yang dipakai dalam epistemologi burhani adalah metode deduksi, induksi, konsep universalisme. Universalitas-universalitas induktif, prinsip kausalitas dan historitas serta tujuan syari’ah.
Perbedaan mendasar antara penalaran dengan epistemologi bayani dan burhani adalah inferensi pada bayani didasarkan atas lapal, sedangkan pada epistemologi burhani didasarkan pada makna. Epistemologi burhani digunakan untuk mengukur benar atau tidaknya sesuatu adalah dengan berdasarkan komponen kemampuan alamiah manusia berupa pengalaman dan akal tanpa dasar teks wahyu suci yang memunculkan peripatik. Maka sumber pengetahuan dengan nalar burhani adalah realitas dan empiris; alam, sosial, dan humanities. Artinya ilmu diperoleh sebagai hasil penelitian, hasil percobaan, hasil eksperimen, baik di laboratorium maupun di alam nyata baik yang bersifat sosial maupun alam.
Dalam menelaah epistemologi burhani tidak akan terlepas dari dua metodologi sebelumnya, Yaitu epistemologi bayani dan irfani. Dari perpaduan ini muncul nalar aduktif yakni mencoba memadukan model berfikir deduktif dan induktif antara hasil bacaan yang bersifat kontekstual terhadap nash dan hasil hasil penelitian empiris, justru kelak melahirkan ilmu Islam yang lengkap (komprehensif), luar biasa dan kelak dapat sebenarnya kedua epistemelogi ini tidaklah jauh berbeda dengan epistemologi burhani. Perbedaan ini hanya faktor perbedaan episteme, yang mana episteme tersebut masih dibangun di atas nilai al- Qur’an dan al-hadits.
3. Metode berfikir` irfani.
Pengetahuan irfani didasarkan pada kasyf atau tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Karena itu pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks dan logika tetapi dengan olah rohani, dimana dengan kesucian hati diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Masuk dalam pikiran, dikonsep kemudian dikemukakan kepada orang lain secara logis. Dengan demikian pengetahuan irfani setidaknya diperoleh melalui 3 tahap yaitu: Persiapan, Penerimaan dan Pengungkapan dengan lisan atau tulisan.
Tahap pertama persiapan. Untuk bisa menerima limpahan pengetahuan, seseorang harus menempuh jenjang-jenjang kehidupan spiritual. Setidaknya ada tujuh tahapan yang harus dijalani, mulai dari bawah menuju puncak
a. Taubat.
b. Wara’: menjauhkan diri dari segala sesuatu yang subhat.
c. Zuhud: tidak tamak dan tidak mengutamakan kehidupan dunia.
d. Faqir: mengosongkan seluruh pikiran dan harapan masa depan dan tidak menghendaki apapun kecuali Tuhan.
e. Sabar menerima bencana dengan prilaku sopan dan rela.
f. Tawakkal percaya atas segala sesuatu yang ditentukan Allah.
g. Ridha hilangnya rasa ketidak senangan dalam hati sehingga yang tersisa hanya gembira dan sukacita.
Tahap kedua penerimaan. Jika telah mencapai tingkat tertentu dalam sufisme, seseorang akan mendapat limpahan pengetahuan langsung dari Tuhan secara iluminatif. Pada tahap ini seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran diri yang demikian mutlak. Sehingga dengan kesadaran itu ia mampu melihat realitas dirinya sendiri (musyahadah) sebagai obyek yang diketahui. Namun realitas kesadaran dan realitas yang disadari tersebut, keduanya bukan sesuatu yang berbeda tetapi merupakan eksistensi yang sama, sehingga obyek yang diketahui tidak lain adalah kesadaran yang mengetahui itu sendiri, begitu pula sebaliknya (ijtihad).
Tahap ketiga pengungkapan. Yakni pengalaman mistik di interpretasikan dan diungkapkan kepada orang lain lewat ucapan atau tulisan.
Adapun pendekatan nalar irfani meliputi:
a. Origin yaitu experience.
b. Metode (proses dan prosedur).
c. Approach yaitu psiko-gnosis, intuitif zauq, al-la’aqlaniyah.
d. Theoretical framework (kerangka teori) yaitu zahir batin, tanzil takwil, nubuwwah wilayah, haqiqi majazi.
e. Fungsi dan peran meliputi partisipasif ( al-hads wal al-wijan, bila wasitah: bila hijab).
f. Types of argument ayaitu atiffiyah wijdaniyah, spirituality (esoteric).
g. Tolak ukur validitas keilmuan yaitu universal reciprocity, empati, simpati, understanding other.
h. Prinsip prinsip dasar yaitu al-ma’rifah, al-ittihad/ al-fana’.
i. Kelompok ilmu ilmu pendukung yaitu al-mutasawwifah, ashab al-irfan ma’rifah (esoteric).
j. Hubungan subyek dan obyek yaitu intersubjective, wihdatul wujud.
C. Keunggulan dan Kelemahan metode berfikir Bayani, Burhani dan Irfani.
Pada prinsipnya, Islam telah memiliki epistemologi yang komprehensif sebagai kunci untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Hanya saja dari tiga kecenderungan epistemologis yang ada (Bayani, Burhani dan Irfani), dalam perkembangannya lebih didominasi oleh corak berpikir Bayani yang sangat tekstual dan corak berpikir Irfani (kasyf) yang sangat sufistik. Kedua kecenderungan ini kurang begitu memperhatikan pada penggunaan rasio secara optimal. Namun dari ketiga epistemologi tersebut (Bayani, Burhani dan Irfani) memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing.
Keunggulan dan kelemahan masing-masing epistemologi dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Keunggulan dan kelemahan epistemologi bayani
Keunggulan bayani terletak pada kebenaran teks (al-Qur’an dan Hadis) sebagai sumber utama hukum Islam yang bersifat universal sehingga menjadi pedoman dan patokan. Dalam pendekatan bayani, oleh karena dominasi teks sedemikian kuat, maka peran akal hanya sebatas sebagai alat pembenaran atau justifikasi atas teks yang dipahami atau diinterpretasi. Dalam aplikasinya, pendekatan bayani akan memperkaya lilmu fikih dan ushul fikih, lebih-lebih qawaidul lughahnya.
Namun, hal itu berarti bukan tanpa kelemahan. Kelemahan mencolok pada Nalar Bayani adalah ketika harus berhadapan dengan teks-teks yang berbeda milik komunitas, bangsa, atau masyarakat lainnya. Karena otoritas ada pada teks, dan rasio hanya berfungsi sebagai pengawal teks, sementara sebuah teks belum tentu diterima oleh golongan lain. Dalam epistemologi bayani sebenarnya ada penggunaan rasio, akan tetapi relatif sedikit dan sangat tergantung pada teks yang ada. Penggunaan yang terlalu dominan atas epistemologi ini telah menimbulkan stagnasi dalam kehidupan beragama, karena ketidakmampuannya merespon perkembangan zaman. Hal ini dikarenakan epistemologi bayani selalu menempatkan akal menjadi sumber sekunder, sehingga peran akal menjadi terpasung di bawah bayang-bayang teks, dan tidak menempatkannya secara sejajar, saling mengisi dan melengkapi dengan teks.
2. Keunggulan dan kelemahan epistemologi burhani
Sistem berpikir yang konstruksi epistemologinya dibangun di atas semangat akal dan logika dengan beberapa premis merupakan keunggulan epistemologi burhani. Epistemologi burhani berusaha memaksimalkan akal dan menempatkannya sejajar dengan teks suci dalam mendapatkan ilmu pengetahuan. Dalam epistemologi burhani ini, penggunaan rasionalitas tidak terhenti hanya sebatas rasio belaka, tetapi melibatkan pendekatan empiris sebagai kunci utama untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, sebagaimana banyak dipraktekkan oleh para ilmuan Barat.
Namun Kendala yang sering dihadapi dalam penerapan pendekatan ini adalah sering tidak sinkronnya teks dan realitas. Produk ijtihadnya akan berbeda jika dalam pengarusutamaan teks atau konteks. Masyarakat lebih banyak memenangkan teks daripada konteks, meskipun yang lebih cenderung kepada kontekspun juga tidak sedikit.
3. Keunggulan dan kelemahan epistemologi irfani
Di antara keunggulan irfani adalah bahwa segala pengetahuan yang bersumber dari intuisi-intuisi, musyahadah, dan mukasyafah lebih dekat dengan kebenaran dari pada ilmu-ilmu yang digali dari argumentasi-argumentasi rasional dan akal. Bahkan kalangan sufi menyatakan bahwa indra-indra manusia dan fakultas akalnya hanya menyentuh wilayah lahiriah alam dan manifestasi-manifestasinya, namun manusia dapat berhubungan secara langsung (immediate) yang bersifat intuitif dengan hakikat tunggal alam (Allah) melalui dimensi-dimensi batiniahnya sendiri dan hal ini akan sangat berpengaruh ketika manusia telah suci, lepas, dan jauh dari segala bentuk ikatan-ikatan dan ketergantungan-ketergantungan lahiriah.
Namun kendala atau keterbatasan irfani antara lain adalah bahwa ia hanya dapat dinikmati oleh segelintir manusia yang mampu sampai pada taraf pensucian diri yang tinggi. Di samping itu, irfani sangat subjektif menilai sesuatu karena ia berdasar pada pengalaman individu manusia. Kritik lainnya adalah sifatnya yang irasional, dan anti kritik terhadap penalaran. Metode yang digunakan adalah logika paradoksal, segala-galanya bisa dicipta tanpa melalui sebab-sebab yang mendahuluinya. Akibatnya, pemikiran para sufi kehilangan dimensi kritis dan bersifat magis yang menyebabkan kemunduran pola pikir umat islam.
Setiap epistemologi, termasuk di dalamnya Irfani, memiliki kelebihan dan kelemahan. Tidak ada di antara ketiga epistemologi keilmuan islam tersebut yang sempurna. Eksistensi ketiganya justru saling melengkapi satu sama lain. Oleh karena itu, hal yang bijak bukanlah menafikan eksistensi peran masing-masing, tetapi bagaimana masing-masing epistemologi tersebut menjalankan perannya yang tepat dan saling melengkapi satu sama lain.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan.
1. Epistemologi secara etimologi adalah teori tentang pengetahuan . sedangkan secara terminologi berarti cabang filsafat yang menyelidiki tentang keaslian pengertian, struktur, mode dan validasi pengetahuan. Epistemologi bayani adalah suatu pendekatan dengan cara menganalisis teks. Burhani adalah aktivitas berpikir untuk menetapkan kebenaran suatu premis melalui metode penyimpulan (al-istintaj), dengan menghubungkan premis tersebut dengan premis yang lain yang oleh nalar dibenarkan atau telah terbukti kebenarannya (badlihiyyah). Irfani adalah pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakekat oleh Tuhan kepada hambanya (al-kasyf) setelah melalui riyadah.
2. Untuk mendapatkan sebuah pengetahuan metode berfikir bayani menempuh dua cara yaitu pertama berpegang pada redaksi (lapazh) teks dengan menggunakan kaidah bahasa Arab. Kedua, Menggunakan metode qiyas (analogi). Metode berfikir burhani menggunakan silogisme dan metode irfani pengetahuan diperoleh dengan olah rohani, dimana dengan kesucian hati diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya.
3. Ketiga metode berfikir bayani, burhani dan irfani masing-masing memiliki keunggulan dan kelemahan. Metode bayani keunggulannya terletak pada kebenaran teks (al-Qur’an dan al-Hadis) sebagai sumber utama hukum Islam yang bersifat universal sehingga menjadi pedoman dan patokan. Kelemahannya adalah ketika harus berhadapan dengan teks-teks yang berbeda milik komunitas, bangsa, atau masyarakat lainnya. Sementara sebuah teks belum tentu diterima oleh golongan lain. Adapun keunggulan dari burhani yaitu sistem berpikir yang konstruksi epistemologinya dibangun di atas semangat akal dan logika dengan beberapa premis. Namun kelemahannya adalah sering tidak sinkronnya teks dan realitas. Adapun keunggulan irfani adalah bahwa segala pengetahuan yang bersumber dari intuisi-intuisi, musyahadah, dan mukasyafah lebih dekat dengan kebenaran dari pada ilmu-ilmu yang digali dari argumentasi-argumentasi rasional dan akal. Namun kelemahannya adalah bahwa ia hanya dapat dinikmati oleh segelintir manusia yang mampu sampai pada taraf pensucian diri yang tinggi. Di samping itu, irfani sangat subjektif menilai sesuatu karena ia berdasar pada pengalaman individu manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah , Amin. Studi Agama Normativitas dan Historitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996).
Aziz , Abdul. Filsafat Pendidikan Islam (Yogyakarta: Teras, 2009).
Kertanegara , Mulyadi. Panorama Filsafat Islam (Bandung: Mizan Pustaka, 2005).
Koattsoff , Louis O. Element of Philosophy: Unsur unsure Filsafat (terjm Soejono Soemargono, (Yayasan Pembinaan fakultas hokum UGM).
Muhammad Amin, Miska. Epistemologi Islam (Jakarta: UIP, 2006).
Naim, Ngainun. Pengantar Studi Islam (Yogyakarta: Teras, 2009).
Supriyadi, Dedi. Pengantar Filsafat islam, Konsep, Filsuf, dan Ajarannya (Bandung: Pustaka Setia,2009).